Pada subuh hari di sudut halte
Sedang matahari masih duduk manis dibalik punggung
mudamu
Aku berdiri disebuah halte mungil di pinggir kota
yang dulu sungainya kering
Sekarang bagai samudera cokelat,
Kata orang bahkan seekor monyet senang bercermin
disana
Yang dulunya hanya lahan kosong dan tanah-tanah
kering meretak
Sekarang menjelma rumput aspal berbunga asap knalpot
Yang dulu ditumbuhi ilalang panjang
Sekarang tunas-tunas beton berserak dimana-mana
Manis sekali air cokelat yang menggenang di sekujur
lututku
Surga kutu-kutu air menjangkiti kakimu yang beralas
sepatu kaca
Ah, bahkan monyet masih setia pada sungaimu
ketimbang sepatu kacamu
Hingga bayi matahari sebesar telapak tangan mulai
menggerayang di tengah alismu
Aku masih berdiri di bawah halte tua di pinggir kota
Bis-bis dan angkota entah dimana
Ku dengar sayup-sayup sirine saling sahut
Tak sempat mataku berkedip
Sekumpulan serdadu dan mobil-mobil mewah lewat saja dengan
lambaian tangan kosong
Menyusur jalan sepi
barangkali di seberang sana ada seorang kakek tua
meringkuk di pinggir jalan
Meminum asap yang tiap hari kau bagikan kepada kami
Menelan plastik snack mu yang kau sumbangkan untuk
kami
Tak kusangka kau begitu dermawan
Tak ku kira kau begitu santun memimpin kami
Tuanku, jasamu abadi
Oleh Lenny Widyawati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar