Kamis, 16 Januari 2014

Sebait Kenangan di Ujung Pagi


“Ren, ini seriusan kita mau nyari disini?” menatap penuh keheranan.
“hehehe iya lah, seingatku sih dulu aku pernah liat buku itu deh disini, tapi lupa di bagian manannya”
“eh eh tunggu deh Ras, kayanya kamu mirip sama seseorang deh”
“hah?” sontak menatap Ren lekat lekat.
“ah siapa ya, tuh kan pokonya sering liat aja, tapi siapa ya”
“lhah Ren kan kita emang ketemu tiap hari di sekolah”
“tau ah, hehehe aku mau ritual dulu di kamar mandi. Kamu cari aja disini ya, mungkin di dalem kardus”
“Yang semangat ya Ras ngobrak ngabrik gudang yang penuh ini” Ren keluar dari gudang, menghilang dari balik pintu.

17 Juli 1997
Kau lah bayi-bayi yang terlahir sebagai diksi
Tumbuh serupa bait puisi
Tiap kedip mata adalah kata
Kenanga, kau lah alasan sang fajar berpulang
Dewasamu adalah  paragraf
Sebab  benafas dengan koma, menelah dalam titik
Tiap inchi adalah waktu

20 Juli 1997
Namaku Herman Sasongko, dan aku lelaki biasa. Berambut cepak, memakai celana kolor dan telanjang dada saat di rumah. Seperti manusia normal lainnya, berwajah kusud dan mata setengah terbuka saat bangun dari tempat tidur. Dua puluh lima tahun hidup melajang, tanpa pengalaman asmara sebelumnya.
Rasanya kalimat di atas terlalu berlebihan untuk dijadikan sebuah intro perkenalan. Terkesan menjatuhkan diri sendiri. Belakangan ini aku sering mondar-mandir di depan lemari kaca. Merapikan rambut lalu memandangi diri sendiri. Membuka mulut lebar-lebar demi memastikan tak ada sisa makanan yang terelip di gigi. Lalu aku mulai berimajinasi lemari kaca adalah kamu, dan sekarang kita sedang berhadap-hadapan. Hening, itu yang terjadi. Tubuhku terasa kaku, mulutku gagu, dan beginilah jika cinta jatuh pada orang pemalu macam diriku.

23 Juli 1997
 Ini bukan awal dari perjalanan, tapi disinilah noktah awal terjadinya quantum leap. Dimana waktu terasa begitu berharga. Karena fajar terlalu singkat keberadaannya. Saat orang lain memuja senja dengan kefanaannya, mungkin kami sama. Sama-sama mencintai yang fana. Karena kisah ini begitu sederhana. Di persimpangan jalan, aku duduk di atas trotoar. Pohon perdu di samping rumahmu mungkin sadar jika seminggu belakangan ini aku menguntitmu pagi-pagi. Meski hanya tampak bayangan hitam, dan samar-samar namun entah kenapa sensasinya terasa menggelora. Angin pagi terasa begitu dingin. Tapi ia tak cukup beringas untuk menyurutkanmu. Seperti pagi-pagi sebelumnya, kau berjalan-jalan di kebun bunga di samping rumahmu. Sambil menenteng keranjang rotan di tangan kiri. Tangan kananmu kau gunakan untuk memetik bunga, bunga yang samar-samar terlihat. Namun karena angin yang begitu akrab, tak salah lagi itu bunga kenanga. Rambutmu yang terjuntai panjang bergerak-gerak tertiup angin, kira-kira panjangnya sesiku. Meski hanya berupa siluet, rambut-rambut itu terlihat menutupi wajahmu. Yang bisa ku terka dari sini adalah, kau selalu menggunakan warna putih. Atasan putih dan rok berwarna putih yang panjangnya selutut. Ya hanya itu saja yang terjangkau dari penglihatanku. Rasa yang kurasakan dengan penuh kesadaran ini. Orang menamainya dengan “jatuh cinta”. Aku jatuh cinta pada tempo yang pertama. Akupun bahkan tak tau seperti apa hidungmu, bibirmu, wajahmu, apalagi senyummu. Yang dapat ku terka adalah, jantungku beresonansi hebat sejak pertama kali aku menangkap siluetmu.

30 Agustus 1997
Ada makluk-makhluk tua yang menunggu mati
Ada bayi-bayi matahari yang menunggu lahir
Di balik hitam, semburat darah mulai tumpah
Ini lah cinta yang terlahir dalam bisu
Bahkan dengan kata, ia tak berdaya
Inilah cerita cinta yang tak menjerit-jerit
Meletup-letup, lirih saja
Ku biarkan fajar memilikimu dengan fananya
Yang menjadikannya luruh seketika
Inilah cerita yang terkungkung isyarat
Menangkap siluetmu, sekedarnya

9 September  1997
Aku sadar ternyata keberpihakan waktu dan fajar adalah fatal. Tentu fajar tahu, setiap hari ia mungkin menguntitku yang sedang duduk di persimpangan jalan. Memicingkan mata, nyaris berusaha tak berkedip. Bersekongkol dengan angin agar membuatku beku. Kenapa  semburat darah yang mulai tumpah di langit sana hanya sekejap mata?? Lalu saat muncul noktah-noktak terang aku harus mengayuh sepedaku cepat-cepat. Kenapa kau tak melonggarkan waktu agar ku bisa menikmati sosok itu lebih lama? Kenapa?

13 September 1997
Kenanga, hari ini aku bangun saat terang mendominasi. Semalam aku terlalu lelah, kau tau bos ku yang perutnya sebundar semangka itu?? Dia nyaris saja menghilangkan tender perusahaan. Bisa-bisanya dia memaki-maki, tak merasa jika ia yang salah. Aku jadi mondar-mandir mencari berkas kantor yang ia tinggalkan begitu saja entah dimana. Aku jadi tak bisa menghadiri pertunjukan spesialmu hari ini. Aku penasaran, seperti apa kamu hari ini. Apa kamu menguncir rambutmu? Atau kamu menggunakan warna pakaian selain putih. Apa mungkin kamu memangkas rambutmu?. Toh selama ini aku hanya menonton setengah pertunjukanmu bukan? Yaa, aku macam jin saja yang buru-buru pergi saat ada cahaya matahari. Beginilah aku kenanga, aku harus pergi bekerja saat matahari menyingsing, dan pulang saat diurnal terlelap. Kau tentu tau bukan seperti apa aku dulu?. Selama tiga tahun lamanya tak ada gairah yang menggebu untuk bekerja. Uang yang ku dapat setiap bulannya, ditambah uang bonus saat ada tender besar hanya untuk membahagiaakanku sendiri. Ingat kan kalau aku sebatang kara, tak ada sosok tua renta yang harus ku transfer uang tiap bulan, tak ada yang mesti aku berikan kasih sayang tiap akhir pekan. Tapi semenjak kau datang bersama fajar, semuanya berubah. Bahkan sekarang aku rajin mandi dan menanami bunga-bunga di depan rumah. Aku merasa gagal sebagai arsitek saat menyadari ternyata rumahku begitu kumuh dan tak mengandung nilai estetika Sekarang aku tau untuk apa aku bekerja, untuk siapa gajiku yang lumayan besar itu harus ku  bagi. Untuk siapa lagi kenanga? Tentu kau tau jawabannya.

27 September 1997
Rasa ini, semakin terasa pekatnya. Seperti gelantungan awan hitam yang akan jatuh ke bumi. Gairah-gairah untuk merengkuhnya terasa menggebu. Kini aku mulai menyadari, bahwa menguntitmu dari atas trotoar yang berjarak 50meter dari rumahmu tak cukup memuaskan dahaga asmaraku. Aku ingin melihatmu secara nyata, bukan sekedar siluet. Melihat seperti apa matamu, mendengar seperti apa nada suaramu, apakah kamu memiliki senyum yang mampu meruntuhkan imanku. Toh kata Tuhan manusia diciptakan berpasang-pasang. Dan kata pepatah, jodoh adalah separuh dari jiwa kita yang dipisahkan, namun akan saling mencari belahannya satu sama lain. Aku percaya bahwa pertemuanku dengan rumahmu bukan kebetulan Kenanga, alam telah mengonspirasikan semua ini untuk kita berdua. Ini lah kenapa selama ini aku tak tertarik dengan wanita lain, karena mungkin pemilik dunia ini telah menambatkan jiwa kita berdua. Fajar ini, aku akan berdandan rapi, memakai minyak wangi, memakai gel di rambut dan menyisir pinggir rambutku. Mengenakan kemeja terbagusku, dan aku telah belajar semalaman bagaimana aku harus berkenalan denganmu. Tapi Kenanga, ada banyak hal yang mengusik tekadku. Segerombolan ekspektasi mulai menyerangku. Aku takut kalau-kalau kau sudah tertambat dengan jiwa yang lain. Atau kau telah memiliki air mancur atau aliran sungai dari tambatan hatimu. Aku mulai gusar Kenanga, aku takut ketika kenyataan begitu melankolik. Aku takut mengalami patah hati, untuk yang pertama kalinya.

11 Januari 1998
Makhluk indah itu bernama “Kenanga Arbelinda”

13 Januari 1998
Namaku Herman Sasongko, aku seorang laki-laki biasa. Bertubuh sedang, berkaki jenjang, dan beralis tebal. Menonton film porno semenjak kelas 1 SMP. Aku lelaki biasa, dan aku normal meski nol besar soal pengalaman asmara.
Sore ini, saat matahari berjingkat-jingkat turun, aku mengunjungimu dengan menggendong basoka di bahu kanan. Aku membawakanmu sketsa. Sesuai dengan janjiku membuatkanmu taman, dengan air mancur dan kolam ikan, aku akan lekas merealisasikannya. Aku ingin kau mendengar gemericik air dari air mancur yang menyembur-nyembur. Agar kau menghirup bunga-bunga selain kenanga, dan mendengar cipakan air saat ikan melompat-lompat. Seperti biasa, kau tak mengunci pintu rumahmu, padahal sudah ratusan kali aku mengomelimu tentang itu. Dunia itu kejam Kenanga, dan kau terlalu cantik, aku hanya tidak ingin laki-laki jahanam di luar sana mengusikmu. Apalagi kau tinggal berdua dengan kakakmu yang sama-sama perempuan, aku hanya khawatir Kenanga, hanya itu.
Sudah beberapa kali aku memanggilmu, namun tak ada balasan. Kususuri tiap ruang rumahmu, tak ku temui dirimu. Tiba-tiba aku mendengarmu memanggilku dari dalam kamar mandi. Kau memintaku mengambilkan handuk di jemuran dekat dapur. Dengan menenteng handuk di lengan kanan, aku masuk ke dalam kamarmu. Setiba disana, aku terkaget melihat pintu kamar mandi terbuka. Di dalam sana tepat di di depanku, aku bisa melihat sosokmu menggigil terguyur air tanpa sehelai kain menutupi inchi tubuhmu. Matanya menyala-nyala seperti butir mutiara, hidungnya mancung, kulitnya putih mulus tanpa totol-totol noda, dan rambutnya yang tergerai panjang yang masih basah tuntas sudah menaikkan hormon kejantananku. Bibirnya merahnya tersenyum, nyaris meruntuhkan tujuh lapis langit. Tanpa kusadari aku berjalan mendekatinya. Sebegitu besar aku memuja-mujamu, dan menghormatimu sebagai berkah keindahan, tapi sekali lagi aku laki-laki biasa. Bagiku kebutaanmu adalah sedikit goresan saja, selebihnya kau adalah sempurna, Kenanga. Serupa kucing saja aku, mana bisa aku diam saja melihat ikan segar tergolek di depanku. Saat itu ku mulai menghayati setiap detik yang berdetak. Begitu meresapi ujung-ujung jemariku yang menjelajahi kulit sehalus kain beludru itu. Nyaris tak ada setitikpun terlewati. Petang ini kita bermain, tak sampai ku mengira kau memainkannya begitu ahli. Saat itu semesta boleh jadi berhenti. Hela nafasmu adalah dekat, aku bisa mendengar jeda-jeda sengal udara yang mengalir pada hidungmu. Sebagaimana warna, bau, dan nada yang dapat membangunkan kenangan. Saat ini aku sama-sama memiliki keintiman dengan senja dan fajar. Dalam pesona magenta di di sudut langit, aku menjelma laki-laki dewasa yang mengenal perbedaan laki-laki perempuan.

20 Januari 1998
To be with you as my dream as i will as always
24 Februari 1998
Cinta yang membuatku mengembang terbang ke awan, cinta pula yang menjatuhkan ku ke tanah. Begitu dalam.
25 Maret 1998
Sudah belasan hari terlewati semenjak kepergianmu. Aku masih terpekur disini, tak beranjak. Rokok yang begitu tabu oleh macam orang seperti ku, sekarang entah berapa puntung rokok yang ku hisap. Apa pedulimu dengan orang bodoh sepertiku? Yang kau kenalkan cinta dengan sekejab saja, Persetan dengan cinta!

26 Maret 1998
Aku hampir gila. Tubuhku serupa bangkai, teronggok di atas kursi goyang yang sesekali bergerak-gerak tersenggol angin. Sendu yang menggelayuti diriku, menyebar luas ke dalam tubuhku. Kedua kakiku tak mampu menyokong tubuhku. Bibirku masih bungkam.
Bisu, Beku, sendu, matikan saja aku!

29 Maret 1998
Sedih yang berlarut-larut ini nyaris saja ku tenggak selongsong obat tidur di depanku. Untuk siapa lagi aku hidup? Tak ada.
20 Januari 1999
Entah harus ku namai apa sore ini. Jelasnya aku mendapat kabar darimu Kenanga. Sepulang ku bekerja aku mendapati keranjang rotan di depan pintu rumahku. Ku kira itu makanan atau  buah-buahan, tapi setelah ku sibak kain di atasnya. Ada diksi-diksi yang menjelma jadi nyata. Sekarang puisi-puisi itu memiliki rima seperti ku, alis matanya tebal, hidungnya mancung, ia punya sepasang mata yang menyala-nyala. Ku dengar untaian kata dari matanya. Kenanga kecilku, itukah kamu?
Selembar foto yang tergeletak dalam rotan itu mampu merubah hati yang tadinya kusut serupa kain pel, sekarang memiliki gairah lagi  untuk bernafas. Di sela-sela rotan ku dapati sepucuk surat.
“Herman, ia bisa melihat dunia sepertimu. Jika kau bertanya dimana aku, aku sekarang menjelma menjadi puisi kecilmu yang bermata menyala”.
Dengan segera aku berlarian mencari jejakmu di sekitar rumah. Ku susur jalan-jalan, pertigaan, persimpangan. Kemanapun ada celah ku masuki, tiap gang ku jelajahi. Tapi, tak ada nihil.
“Eh Ras, aku udah inget kamu mirip siapa” Renaldy tiba-tiba muncul di hadapan Laras.
Buku catatan berwarna cokelat yang ia bacapun terjatuh ke tanah. Mata laras terbelalak, nyaris tak berkedip.
“kamu mirip Papahku Ras, kalian punya alis yang sama, tunggu-tunggu bibir kalian juga sama”
 “Herman Sasongko”
“iya itu nama papahku, kok kamu tau Ras?” Ren terkejut.
Dunia Laras seperti berhenti berputar. Gravitasi tak mampu mengokohkan pijakannya di bumi. Tubuhnya terpelanting ringan kesana kemari. Dunia seolah tanpa gravitasi.


pembaca yang baik meninggalkan komentar :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar