“Ren,
ini seriusan kita mau nyari disini?” menatap penuh keheranan.
“hehehe
iya lah, seingatku sih dulu aku pernah liat buku itu deh disini, tapi lupa di
bagian manannya”
“eh
eh tunggu deh Ras, kayanya kamu mirip sama seseorang deh”
“hah?”
sontak menatap Ren lekat lekat.
“ah
siapa ya, tuh kan pokonya sering liat aja, tapi siapa ya”
“lhah
Ren kan kita emang ketemu tiap hari di sekolah”
“tau
ah, hehehe aku mau ritual dulu di kamar mandi. Kamu cari aja disini ya, mungkin
di dalem kardus”
“Yang
semangat ya Ras ngobrak ngabrik gudang yang penuh ini” Ren keluar dari gudang,
menghilang dari balik pintu.
17 Juli 1997
Kau lah bayi-bayi yang terlahir
sebagai diksi
Tumbuh serupa bait puisi
Tiap kedip mata adalah kata
Kenanga, kau lah alasan sang fajar
berpulang
Dewasamu adalah paragraf
Sebab benafas dengan koma, menelah dalam titik
Tiap inchi adalah waktu
20 Juli 1997
Namaku Herman Sasongko, dan aku
lelaki biasa. Berambut cepak, memakai celana kolor dan telanjang dada saat di
rumah. Seperti manusia normal lainnya, berwajah kusud dan mata setengah terbuka
saat bangun dari tempat tidur. Dua puluh lima tahun hidup melajang, tanpa
pengalaman asmara sebelumnya.
Rasanya kalimat di atas terlalu
berlebihan untuk dijadikan sebuah intro perkenalan. Terkesan menjatuhkan diri
sendiri. Belakangan ini aku sering mondar-mandir di depan lemari kaca.
Merapikan rambut lalu memandangi diri sendiri. Membuka mulut lebar-lebar demi
memastikan tak ada sisa makanan yang terelip di gigi. Lalu aku mulai
berimajinasi lemari kaca adalah kamu, dan sekarang kita sedang
berhadap-hadapan. Hening, itu yang terjadi. Tubuhku terasa kaku, mulutku gagu,
dan beginilah jika cinta jatuh pada orang pemalu macam diriku.
23 Juli 1997
Ini bukan awal dari perjalanan, tapi disinilah
noktah awal terjadinya quantum leap. Dimana waktu terasa begitu berharga.
Karena fajar terlalu singkat keberadaannya. Saat orang lain memuja senja dengan
kefanaannya, mungkin kami sama. Sama-sama mencintai yang fana. Karena kisah ini
begitu sederhana. Di persimpangan jalan, aku duduk di atas trotoar. Pohon perdu
di samping rumahmu mungkin sadar jika seminggu belakangan ini aku menguntitmu
pagi-pagi. Meski hanya tampak bayangan hitam, dan samar-samar namun entah
kenapa sensasinya terasa menggelora. Angin pagi terasa begitu dingin. Tapi ia
tak cukup beringas untuk menyurutkanmu. Seperti pagi-pagi sebelumnya, kau
berjalan-jalan di kebun bunga di samping rumahmu. Sambil menenteng keranjang
rotan di tangan kiri. Tangan kananmu kau gunakan untuk memetik bunga, bunga
yang samar-samar terlihat. Namun karena angin yang begitu akrab, tak salah lagi
itu bunga kenanga. Rambutmu yang terjuntai panjang bergerak-gerak tertiup
angin, kira-kira panjangnya sesiku. Meski hanya berupa siluet, rambut-rambut
itu terlihat menutupi wajahmu. Yang bisa ku terka dari sini adalah, kau selalu
menggunakan warna putih. Atasan putih dan rok berwarna putih yang panjangnya
selutut. Ya hanya itu saja yang terjangkau dari penglihatanku. Rasa yang
kurasakan dengan penuh kesadaran ini. Orang menamainya dengan “jatuh cinta”. Aku
jatuh cinta pada tempo yang pertama. Akupun bahkan tak tau seperti apa
hidungmu, bibirmu, wajahmu, apalagi senyummu. Yang dapat ku terka adalah,
jantungku beresonansi hebat sejak pertama kali aku menangkap siluetmu.
30 Agustus 1997
Ada makluk-makhluk tua yang
menunggu mati
Ada bayi-bayi matahari yang
menunggu lahir
Di balik hitam, semburat darah
mulai tumpah
Ini lah cinta yang terlahir dalam
bisu
Bahkan dengan kata, ia tak berdaya
Inilah cerita cinta yang tak
menjerit-jerit
Meletup-letup, lirih saja
Ku biarkan fajar memilikimu dengan
fananya
Yang menjadikannya luruh seketika
Inilah cerita yang terkungkung
isyarat
Menangkap siluetmu, sekedarnya
9 September 1997
Aku sadar ternyata keberpihakan
waktu dan fajar adalah fatal. Tentu fajar tahu, setiap hari ia mungkin
menguntitku yang sedang duduk di persimpangan jalan. Memicingkan mata, nyaris
berusaha tak berkedip. Bersekongkol dengan angin agar membuatku beku. Kenapa semburat darah yang mulai tumpah di langit
sana hanya sekejap mata?? Lalu saat muncul noktah-noktak terang aku harus
mengayuh sepedaku cepat-cepat. Kenapa kau tak melonggarkan waktu agar ku bisa
menikmati sosok itu lebih lama? Kenapa?
13 September 1997
Kenanga, hari ini aku bangun saat
terang mendominasi. Semalam aku terlalu lelah, kau tau bos ku yang perutnya
sebundar semangka itu?? Dia nyaris saja menghilangkan tender perusahaan.
Bisa-bisanya dia memaki-maki, tak merasa jika ia yang salah. Aku jadi
mondar-mandir mencari berkas kantor yang ia tinggalkan begitu saja entah
dimana. Aku jadi tak bisa menghadiri pertunjukan spesialmu hari ini. Aku
penasaran, seperti apa kamu hari ini. Apa kamu menguncir rambutmu? Atau kamu
menggunakan warna pakaian selain putih. Apa mungkin kamu memangkas rambutmu?. Toh
selama ini aku hanya menonton setengah pertunjukanmu bukan? Yaa, aku macam jin
saja yang buru-buru pergi saat ada cahaya matahari. Beginilah aku kenanga, aku
harus pergi bekerja saat matahari menyingsing, dan pulang saat diurnal
terlelap. Kau tentu tau bukan seperti apa aku dulu?. Selama tiga tahun lamanya
tak ada gairah yang menggebu untuk bekerja. Uang yang ku dapat setiap bulannya,
ditambah uang bonus saat ada tender besar hanya untuk membahagiaakanku sendiri.
Ingat kan kalau aku sebatang kara, tak ada sosok tua renta yang harus ku
transfer uang tiap bulan, tak ada yang mesti aku berikan kasih sayang tiap
akhir pekan. Tapi semenjak kau datang bersama fajar, semuanya berubah. Bahkan
sekarang aku rajin mandi dan menanami bunga-bunga di depan rumah. Aku merasa
gagal sebagai arsitek saat menyadari ternyata rumahku begitu kumuh dan tak
mengandung nilai estetika Sekarang aku tau untuk apa aku bekerja, untuk siapa
gajiku yang lumayan besar itu harus ku bagi.
Untuk siapa lagi kenanga? Tentu kau tau jawabannya.
27 September 1997
Rasa ini, semakin terasa pekatnya.
Seperti gelantungan awan hitam yang akan jatuh ke bumi. Gairah-gairah untuk
merengkuhnya terasa menggebu. Kini aku mulai menyadari, bahwa menguntitmu dari
atas trotoar yang berjarak 50meter dari rumahmu tak cukup memuaskan dahaga
asmaraku. Aku ingin melihatmu secara nyata, bukan sekedar siluet. Melihat
seperti apa matamu, mendengar seperti apa nada suaramu, apakah kamu memiliki
senyum yang mampu meruntuhkan imanku. Toh kata Tuhan manusia diciptakan berpasang-pasang.
Dan kata pepatah, jodoh adalah separuh dari jiwa kita yang dipisahkan, namun
akan saling mencari belahannya satu sama lain. Aku percaya bahwa pertemuanku
dengan rumahmu bukan kebetulan Kenanga, alam telah mengonspirasikan semua ini
untuk kita berdua. Ini lah kenapa selama ini aku tak tertarik dengan wanita
lain, karena mungkin pemilik dunia ini telah menambatkan jiwa kita berdua. Fajar
ini, aku akan berdandan rapi, memakai minyak wangi, memakai gel di rambut dan
menyisir pinggir rambutku. Mengenakan kemeja terbagusku, dan aku telah belajar
semalaman bagaimana aku harus berkenalan denganmu. Tapi Kenanga, ada banyak hal
yang mengusik tekadku. Segerombolan ekspektasi mulai menyerangku. Aku takut
kalau-kalau kau sudah tertambat dengan jiwa yang lain. Atau kau telah memiliki
air mancur atau aliran sungai dari tambatan hatimu. Aku mulai gusar Kenanga,
aku takut ketika kenyataan begitu melankolik. Aku takut mengalami patah hati,
untuk yang pertama kalinya.
11 Januari 1998
Makhluk indah itu bernama “Kenanga
Arbelinda”
13 Januari 1998
Namaku Herman Sasongko, aku seorang
laki-laki biasa. Bertubuh sedang, berkaki jenjang, dan beralis tebal. Menonton
film porno semenjak kelas 1 SMP. Aku lelaki biasa, dan aku normal meski nol
besar soal pengalaman asmara.
Sore ini, saat matahari
berjingkat-jingkat turun, aku mengunjungimu dengan menggendong basoka di bahu
kanan. Aku membawakanmu sketsa. Sesuai dengan janjiku membuatkanmu taman,
dengan air mancur dan kolam ikan, aku akan lekas merealisasikannya. Aku ingin
kau mendengar gemericik air dari air mancur yang menyembur-nyembur. Agar kau
menghirup bunga-bunga selain kenanga, dan mendengar cipakan air saat ikan
melompat-lompat. Seperti biasa, kau tak mengunci pintu rumahmu, padahal sudah
ratusan kali aku mengomelimu tentang itu. Dunia itu kejam Kenanga, dan kau
terlalu cantik, aku hanya tidak ingin laki-laki jahanam di luar sana
mengusikmu. Apalagi kau tinggal berdua dengan kakakmu yang sama-sama perempuan,
aku hanya khawatir Kenanga, hanya itu.
Sudah beberapa kali aku
memanggilmu, namun tak ada balasan. Kususuri tiap ruang rumahmu, tak ku temui
dirimu. Tiba-tiba aku mendengarmu memanggilku dari dalam kamar mandi. Kau
memintaku mengambilkan handuk di jemuran dekat dapur. Dengan menenteng handuk di
lengan kanan, aku masuk ke dalam kamarmu. Setiba disana, aku terkaget melihat
pintu kamar mandi terbuka. Di dalam sana tepat di di depanku, aku bisa melihat
sosokmu menggigil terguyur air tanpa sehelai kain menutupi inchi tubuhmu. Matanya
menyala-nyala seperti butir mutiara, hidungnya mancung, kulitnya putih mulus
tanpa totol-totol noda, dan rambutnya yang tergerai panjang yang masih basah
tuntas sudah menaikkan hormon kejantananku. Bibirnya merahnya tersenyum, nyaris
meruntuhkan tujuh lapis langit. Tanpa kusadari aku berjalan mendekatinya. Sebegitu
besar aku memuja-mujamu, dan menghormatimu sebagai berkah keindahan, tapi
sekali lagi aku laki-laki biasa. Bagiku kebutaanmu adalah sedikit goresan saja,
selebihnya kau adalah sempurna, Kenanga. Serupa kucing saja aku, mana bisa aku
diam saja melihat ikan segar tergolek di depanku. Saat itu ku mulai menghayati
setiap detik yang berdetak. Begitu meresapi ujung-ujung jemariku yang
menjelajahi kulit sehalus kain beludru itu. Nyaris tak ada setitikpun
terlewati. Petang ini kita bermain, tak sampai ku mengira kau memainkannya
begitu ahli. Saat itu semesta boleh jadi berhenti. Hela nafasmu adalah dekat,
aku bisa mendengar jeda-jeda sengal udara yang mengalir pada hidungmu.
Sebagaimana warna, bau, dan nada yang dapat membangunkan kenangan. Saat ini aku
sama-sama memiliki keintiman dengan senja dan fajar. Dalam pesona magenta di di
sudut langit, aku menjelma laki-laki dewasa yang mengenal perbedaan laki-laki perempuan.
20 Januari 1998
To be with you as my dream as i
will as always
24 Februari 1998
Cinta yang membuatku mengembang
terbang ke awan, cinta pula yang menjatuhkan ku ke tanah. Begitu dalam.
25 Maret 1998
Sudah belasan hari terlewati
semenjak kepergianmu. Aku masih terpekur disini, tak beranjak. Rokok yang
begitu tabu oleh macam orang seperti ku, sekarang entah berapa puntung rokok
yang ku hisap. Apa pedulimu dengan orang bodoh sepertiku? Yang kau kenalkan
cinta dengan sekejab saja, Persetan dengan cinta!
26 Maret 1998
Aku hampir gila. Tubuhku serupa
bangkai, teronggok di atas kursi goyang yang sesekali bergerak-gerak tersenggol
angin. Sendu yang menggelayuti diriku, menyebar luas ke dalam tubuhku. Kedua
kakiku tak mampu menyokong tubuhku. Bibirku masih bungkam.
Bisu, Beku, sendu, matikan saja
aku!
29 Maret 1998
Sedih yang berlarut-larut ini
nyaris saja ku tenggak selongsong obat tidur di depanku. Untuk siapa lagi aku
hidup? Tak ada.
20 Januari 1999
Entah harus ku namai apa sore ini.
Jelasnya aku mendapat kabar darimu Kenanga. Sepulang ku bekerja aku mendapati
keranjang rotan di depan pintu rumahku. Ku kira itu makanan atau buah-buahan, tapi setelah ku sibak kain di
atasnya. Ada diksi-diksi yang menjelma jadi nyata. Sekarang puisi-puisi itu
memiliki rima seperti ku, alis matanya tebal, hidungnya mancung, ia punya
sepasang mata yang menyala-nyala. Ku dengar untaian kata dari matanya. Kenanga
kecilku, itukah kamu?
Selembar foto yang tergeletak dalam
rotan itu mampu merubah hati yang tadinya kusut serupa kain pel, sekarang
memiliki gairah lagi untuk bernafas. Di
sela-sela rotan ku dapati sepucuk surat.
“Herman, ia bisa melihat dunia sepertimu.
Jika kau bertanya dimana aku, aku sekarang menjelma menjadi puisi kecilmu yang
bermata menyala”.
Dengan segera aku berlarian mencari
jejakmu di sekitar rumah. Ku susur jalan-jalan, pertigaan, persimpangan.
Kemanapun ada celah ku masuki, tiap gang ku jelajahi. Tapi, tak ada nihil.
“Eh
Ras, aku udah inget kamu mirip siapa” Renaldy tiba-tiba muncul di hadapan
Laras.
Buku
catatan berwarna cokelat yang ia bacapun terjatuh ke tanah. Mata laras
terbelalak, nyaris tak berkedip.
“kamu
mirip Papahku Ras, kalian punya alis yang sama, tunggu-tunggu bibir kalian juga
sama”
“Herman Sasongko”
“iya
itu nama papahku, kok kamu tau Ras?” Ren terkejut.
Dunia
Laras seperti berhenti berputar. Gravitasi tak mampu mengokohkan pijakannya di
bumi. Tubuhnya terpelanting ringan kesana kemari. Dunia seolah tanpa gravitasi.
pembaca yang baik meninggalkan komentar :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar