Suatu sore di lantai dua sebuah Kafe
di Tembalang. Seperti biasa aku memesan secangkir cappuccino panas. Belakangan aku
memang lebih suka cappuccino daripada kopi-kopi lainnya. Pahit enak, manis juga
enak.
Tak lama kemudian, cappuccino pesananku
datang berserta kotak berisi gula, biskuit, dan sebuah sendok serta sebuah
filosofi hidup.
Hidup itu seperti Cappuccino. Kita butuh gula sebagai pemanis, butuh biskuit sebagai
pelengkap, dan kita butuh sendok supaya semua komponen cappucinno bersatu padu
dan bisa dinikmati.
Biskuit bisa diibaratkan sebagai cinta. Dan gula bisa
diibaratkan sebagai sahabat. Sedangkan sendok diibaratkan sebagai sikap kita.
Biskuit bisa saja habis sebelum cappuccino yang kamu minum
habis, dan bisa juga habis bersama dengan tetes terakhir cappuccinomu. Begitu
juga cinta, kamu bisa bertahan dengan satu biskuit untuk menghabiskan
cappuccinomu, tapi kamu bisa saja menghabiskan banyak biskuit untuk satu
cangkir cappuccino.
Lain halnya dengan gula, dia bisa membuat cappucinno jadi manis.
Dan dia larut, jadi dia tidak mungkin meninggalkan cappucinno sendirian setelah
dia memberi rasa manis.
Tapi gula tidak akan bisa membuat cappuccino manis kalau tidak
ada sendok. Gula ada didekat cappucinno tapi tidak bisa tercampur. Begitu pula
dengan persahabatan, kalau sikap kita benar, sahabat pasti bersedia ada buat
kita, kita harus menjaga sikap supaya sahabat kita tidak pernah ragu untuk
menemani kita, sampai cappucino kita habis.
Waktu itu aku hanya diberi sebuah biskuit, tapi sayangnya biskuit
itu habis jauh sebelum cappucinnoku habis.
Oleh: F. Yumna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar