Dia ada dihadapanku saat ini.
Aku merindukan tawanya, kekonyolannya dan kesok luguannya. Rasanya udah lama
sekali aku tak bertemu dengannya. Seakan – akan waktu ini ingin berhenti, hanya
aku yang sadar dan masih ada dia dihadapanku. Kemana dia kini. Wajahnya tak
tampak lagi. Apa atau siapa yang mengalihkan perhatiannya hingga dia beranjak
pergi dari tempatnya. Dimana dia kini. Aku tak melihatnya.. adakah dia
didekatku?.
Hari tlah berganti, aku masih
tak melihatnya. Kemana dia?. Ternyata oh ternyata, angin membawa kabar, kabar
tentangnya. Ternyata dia kini sangat jauh dari tempatku berada. Tempat yang
pernah ku datangi 7 bulan yang lalu. Tempat yang begitu indah dan menarik.
Wajar saja dia memilih pergi kesana daripada disini, tempatku berada kini. Itu
kah yang membuatnya beranjak dari hadapanku?.
Kini dia ada dihadapanku
kembali. Akhirnya aku beranikan diri untuk menyapa dia.
“hai
Aksen, darimana aja kamu? Abis jalan – jalan yah?”
“hai
Nit, ngga kok. Aku abis ikut lomba karya ilmiah disana. Ya sedikit jalan –
jalan sih tapi banyak persiapan lombanya. Hehehe”
“hmm
dasar... aku kangen tau sama kamu, pergi kok lama banget sih.”
“ciyeee
ada yang kangen aku, asiikk... hehe aku juga kangen kamu kok.”
Siang itu, hatiku merasa
bahagia sekali bisa melihatnya kembali. Aku menginginkan waktu berhenti kembali
saat itu dan hanya aku yang sadar untuk melihatnya dihadapanku.
***
Sinar mentari kembali menampar
wajahku hingga merona. Aku tak sabar untuk melihat dia lagi berada dihadapanku.
Namun, ternyata semua itu mimpi ku di pagi hari. Dia tak tampak lagi
dihadapanku. Ketika aku bertanya pada seseorang disebelahku kemana ia, ternyata
ia berada ditempat yang sangat tak ingin ku kunjungi. Seharian ku ikuti kuliah
tetapi tak da yang masuk dalam memoriku. Seakan pikiran dan nyawaku tak hadir
disana. Aku hanya memikirkan bagaimana dia. Aku coba menghubunginya tetapi tak
da jawab darinya kecuali dari seorang ibu. Tamparan sinar mentari tlah
terkalahkan oleh tamparan kabar darinya. Sesuatu yang ganas dan tlah lama
tumbuh berada dalam dirinya.
Malamnya, aku tak mampu menahan
tetesan air mata. Ku rebahkan tubuhkan diatas tumpukkan bantal dan boneka –
boneka lucu yang selalu buatku tertawa. Namun, malam itu, seakan mereka semua
membisu dan tak ingin menyapaku. Aku lelah dan akhirnya ku tutup matanya.
“mamah, jangan pergi mah!(aku berlari
mengejar mamah dan menahan tangannya) Papah, kenapa papah diam
saja?(teriakku)(mamah tetap pergi meninggalkanku)(dalam tangis aku berlari ke
papah lalu aku memukul papah) Papah udah ngapain mamah sampai mamah menangis
dan meninggalkan aku? Papah jahat! Papah jahat! Aku benci papah! (aku pun
berlari masuk kamar dan mengunci diri)”
Tiba
– tiba suara gaduh membangunkanku. Pagi yang kurang sempurna. Aku terbangun
dari mimpi burukku. Aku bertanya dalam hati apa arti mimpi itu. Tak sempat
berpikir lama aku pun tau jawabannya. Kegaduhan yang menyambut pagi ternyata
suara pertengkaran orang tuaku. Aku anak tunggal, kami berempat dirumah, aku,
kedua orang tuaku dan seorang bibi yang membantu urusan rumah tangga karena
kedua orang tuaku sibuk
dengan
urusannya mas
ing
– masing. Aku langsung cuci muka dan memasukan bajuku kedalam tas lalu aku
pergi lewat jendela kamarku. Aku tak ingin melihat dan mendengar pertengkaran
mereka lagi, aku putuskan untuk menemui Aksen.
Aku pikir kemarin yang menerima
telfonku adalah ibu kandung Aksen, ternyata beliau adalah ibu kos Aksen. Aksen
dirawat di kamar 305 Rumah Sakit Harapan Bunda. Suara senyap sepi menyelimuti
lorong – lorong rumah sakit ini. Mungkin karena kondisi masih sangat pagi
sehingga belum banyak orang yang berlalu lalang. Aku pun langsung menuju kamar Aksen.
Ketika a’ku membuka pintu yang tak terkunci tersebut, mataku terpaku pada sosok
yang terbaring diatas ranjang dengan selimut khasnya berwarna putih dan
aksesoris khasnya selang dan botol infus. Perlahan ku dekatiku tubuhku pada
sosok tersebut sambil menahan air mata. Namun, aku terlalu lemah dan rapuh
untuk menahannya. Air mata pun menetes tepat ketika ku berada dihadapannya. Tak
lama, Aksen menyadari kehadiranku. Tak ingin ia tau, aku pun merubah raut
wajahku dengan keceriaan.
“kenapa
kamu begitu lemah hingga perlu dibantu dengan selang – selang ini untuk
bernapas?” ejekku
Dia
tersenyum dan menjawab ejekanku, “kamu aja yang culun, ini style terbaru tau,
jadi kita ngga susah – susah buat cari udara segar untuk bernapas so hemat
waktu dan tenaga.”
Aku
pun tertawa mendengarnya, “hahha iya terserah kamu aja deh Aksen!” lalu ku
tersenyum padanya.
Aku tak mampu berbuat banyak
untuknya. Namun, dengan melihatnya dihadapanku itu sudah bisa membuat dia
sedikit melupakan rasa sakitnya. Kehadiranku yang bisa dibilang terlalu pagi
itu membuatnya bertanya padaku. Aku pun menceritakan semuanya padanya. Seperti
biasa, dia mengeluarkan kata – kata bijaknya layaknya aku meminta nasehat
seorang psikolog. Aku hanya tersenyum dan meng-iya-kan apa yang dia katakan.
Aku tak ingin mengurangi tingkat fokusku untuk melihat wajahnya yang ada
dihadapanku.
Tak terasa, waktu berlalu
begitu cepat. Malam telah tiba, dia masih setia disampingku. Tak ingin ku
beranjak darinya. Meski dia tak terus terjaga tetapi aku tetap tak ingin
beranjak. Aku ingin ada disaat ia terjaga ataupun tertidur. Tangan dingin yang
selalu ku genggaman seakan mengeratkan genggamanku. Apa yang ingin dia katakan
aku tak mengerti. Aku memegang tangan dingin itu dengan kedua tanganku. Tiba –
tiba, Aksen terbangun dan melihatku. Dia mengangkat tanganku yang ada dalam
genggaman tangannya lalu mencium tanganku. Aku pun tersenyum dan dia pun
membalas senyumanku. Aku tak pernah berpikir apa yang kemudian terjadi setelah
itu. Ternyata itu hal terakhir yang dia lakukan sebelum dia meninggalkanku lagi
untuk selamanya ke tempat yang jauh. Kanker otak ternyata telah mengalihkan Aksen
untuk beranjak dariku.
“Nita,
ayo ke kantin. Gue laper banget nih.”
Suara
Dhani pun memecahkan lamunanku. “Iya Dhan, lo mah laper mulu. Muka mangkok
dasar! Hahaha ” jawabku dengan polos lalu aku berlari menjauh dari Dhani.
“Sialan
loe Nit!” Dhani pun balik ngejar gue.
Tamat
Oleh Dewi Ratna Sari A.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar