Hari itu, kau mungkin tak tahu.
Hujan turun deras di bumi yang dulunya tempat kakek-nenek bersenandung dengan kebaya dan baju lurik sederhana milik kami.
Menikmati aroma hujan yang menguar dari tanah.
Di sebuah kedai kopi kecil di sudut kota, melihat lampu kota yang temaram dari kejauhan.
Mematri bayangan-bayangan yang dulu sempat diciptakan di tengah tetesan hujan.
Mendengarkan suara radio di tengah gemericik air.
Memperhatikan tuan dan noni Belanda bertopi dan bermata biru bersliweran di jalanan.
Berharap-harap tak ada lagi sirine peringatan untuk bersembunyi.
Berharap-harap negeri kami segera bangkit
Berharap-harap pemuda negeri kami bersatu-padu melawan tuan-noni Belanda.
Berharap-harap, anak-anak pribumi dapat merasakan indahnya melukiskan aksara.
Berharap-harap, anak-anak kami kelak yang akan memimpin kami.
Berharap.
Kali ini, aku pun disini, beberapa dekade setelah masa itu berlalu.
Menikmati segelas kopi dan setetesan hujan yang turun.
Di kedai kopi yang sama dengan kedai yang sering kami kunjungi dulu.
Memperhatikan tatanan lampu kota yang benderang.
Kali ini, negeri kami telah merdeka dari tuan dan noni Belanda.
Kali ini, tak ada lagi sirine peringatan untuk bersembunyi.
Kali ini, tuan dan noni Belanda tak lagi bersliweran di jalanan.
Kali ini, anak pribumi bebas melukiskan rasanya melalui rangkaian aksara.
Kali ini, anak-anak kami telah menjadi pemimpin kami.
Dan kali ini, pemimpin kami lah yang giliran menjajah kami.
Oriza Wahyu Utami, 15 Januari 2014
Hujan turun deras di bumi yang dulunya tempat kakek-nenek bersenandung dengan kebaya dan baju lurik sederhana milik kami.
Menikmati aroma hujan yang menguar dari tanah.
Di sebuah kedai kopi kecil di sudut kota, melihat lampu kota yang temaram dari kejauhan.
Mematri bayangan-bayangan yang dulu sempat diciptakan di tengah tetesan hujan.
Mendengarkan suara radio di tengah gemericik air.
Memperhatikan tuan dan noni Belanda bertopi dan bermata biru bersliweran di jalanan.
Berharap-harap tak ada lagi sirine peringatan untuk bersembunyi.
Berharap-harap negeri kami segera bangkit
Berharap-harap pemuda negeri kami bersatu-padu melawan tuan-noni Belanda.
Berharap-harap, anak-anak pribumi dapat merasakan indahnya melukiskan aksara.
Berharap-harap, anak-anak kami kelak yang akan memimpin kami.
Berharap.
Kali ini, aku pun disini, beberapa dekade setelah masa itu berlalu.
Menikmati segelas kopi dan setetesan hujan yang turun.
Di kedai kopi yang sama dengan kedai yang sering kami kunjungi dulu.
Memperhatikan tatanan lampu kota yang benderang.
Kali ini, negeri kami telah merdeka dari tuan dan noni Belanda.
Kali ini, tak ada lagi sirine peringatan untuk bersembunyi.
Kali ini, tuan dan noni Belanda tak lagi bersliweran di jalanan.
Kali ini, anak pribumi bebas melukiskan rasanya melalui rangkaian aksara.
Kali ini, anak-anak kami telah menjadi pemimpin kami.
Dan kali ini, pemimpin kami lah yang giliran menjajah kami.
Oriza Wahyu Utami, 15 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar