Biarlah kau tak mengenaliku, tak
pernah kau tahu wajahku, tak pernah kau dengar suaraku. Aku hanya ingin
senyummu kembali. Seperti dulu.
Aku terpekur memandangi jemarimu yang lembut membelai berlembar-lembar kertas
yang berisi tonjolan-tonjolan kecil yang selalu kau sebut “Penyelamat” duniamu
dari kegelapan. Hari ini akhirnya kau
telah menyelesaikan novel yang berbulan-bulan lalu ingin segera kau selesaikan.
Senyummu mengembang saat kau tahu tokoh utama dalam novel itu akhirnya
menemukan keluarganya yang terpisah selama bertahun-tahun.
Perkenalkan, namaku Alya.
Kemudian dengan semangat kau menceritakan lagi dari awal cerita yang baru
saja kau baca. Seperti biasa, Aku hanya fokus mendengarkan. Tak ada detil yang
terlewat sedikitpun. Kau bercerita bagaimana anak kecil yang bernama Anne
William berjuang hidup di kota, sendirian, demi bertemu Ayahnya yang
meninggalkannya saat ia kecil. Kau bercerita tentang bagaimana Anne William
bertemu dengan Bibi Olga yang baik hati. Sampai pada akhirnya, kau bercerita
tentang bagaimana ketegaran Anne
menemukan Ayahnya yang ternyata telah meninggal dunia karena terkena
peluru prajurit Inggris yang tengah menjadi pemberontak.
Aku suka memandanginya saat ia
serius “membaca” dengan jemarinya. Ia terlihat begitu bahagia. Aku senang
melihatnya bahagia.
Seperti biasa, selesai kau bercerita, aku kau suruh untuk menuliskan
judul dan kesanmu mengenai cerita itu di sebuah buku kumal yang kau namai buku
Jurnal. Kau selalu berkata, “Kelak ibu akan membacanya dan tersenyum bangga
karena putrinya telah membaca banyak buku!,” . Seperti biasa, aku pun hanya
tersenyum mendengar kalimat yang sudah kuhafal itu, sebelum beberapa detik
kemudian aku mulai menggoreskan penaku, menjadikan perkataanmu tertera diatas
buku Jurnal milikmu.
Ups, aku yakin kau akan melonjak
kegirangan jika kukatakan hal itu padamu, dan aku yakin kau akan menggodaku
berulang kali jika kau tahu hal itu. Tak perlulah kau tahu, toh menuliskan
jurnalmu saja aku sudah bahagia.
Hari ini, tepat 100 buku yang telah tamat kau baca. Dari kesemua buku
yang telah kau baca, aku dapat menyimpulkan, buku-buku favoritmu adalah
buku-buku yang berlatar belakang jaman eropa klasik. Kau bilang kau suka
membayangkan putri-putri Eropa mengenakan topi yang berhiaskan bunga-bunga
besar, bergaun indah, didampingi oleh seorang pangeran tampan, seperti yang
pernah kau lihat dalam film Cinderella beberapa tahun yang lalu. Hari ini pula
buku jurnalmu yang pertama hampir habis. Hanya tinggal beberapa lembar lagi.
Coba saja kalau kau tahu apa saja
kata-kata yang aku selipkan diantara kata-kata yang ingin kau tuliskan. Aku
ingin tahu bagaimana ekspresimu.
“Jika masih ada lembar tersisa, aku ingin kau menuliskan ini untukku.
Terima kasih telah menjadi sahabat terbaikku, Alya. Aku sungguh sangat
menyayangimu. Semoga kita dapat bersahabat seperti pena dan kertas. Saling
melengkapi satu sama lain,”
Air mataku hampir saja menetes mendengar kau
mengucapkan kalimat itu, aku tak menyangka kau akan berkata bahwa kau begitu
menyayangiku. Selesai menuliskan kata-katamu, kembali aku selipkan kata-kataku
di belakang kata-katamu.
Mungkin
sebentar lagi kau akan tahu.
***
Perkenalkan namaku Alika.
Hari ini tepat buku ke 100 yang aku baca. Kau ingin tahu bagaimana
rasanya? Bahagia. Ya tentu saja aku bahagia. Ke seratus buku ini, bukan
merupakan buku-buku biasa yang dapat dibaca oleh orang biasa. Buku-buku dengan
huruf Braille. Ya, sejak dua tahun lalu aku kehilangan penglihatanku karena
sebuah kecelakaan. Aku mengalami kecelakaan bersama Ayah, Ibu dan kedua adikku.
Beruntung Ayah dan kedua adikku selamat. Hanya saja, ibu masih terbaring koma
dirumah sakit, katanya tak tahu sampai kapan. Ah, tapi aku yakin ibu akan
membuka matanya lagi suatu hari nanti.
Aku tahu setiap kali kau menungguku membaca buku, kau melukiskan sesuatu disebelahku. Suara goresan pena pada kanvas itu sangat khas. Tentu saja aku mengenalinya.
Aku suka setiap kali membaca kau duduk disampingku, menggoreskan penamu pada kanvas. Apa yang sedang kau lukis, Alya? Ingin rasanya aku bertanya seperti itu. Tapi kuurungkan, mungkin suatu saat nanti kau akan memberitahuku dengan sendirinya. Jika saja kau tahu, aku merasa beruntung memiliki sahabat sepertimu. Rela mendengar ocehanku tentang buku-buku yang baru saja kubaca. Rela menuliskan apa saja yang ingin aku tuliskan. Rela mencarikan buku-buku berhuruf Braille untukku, yang aku yakin pasti sangat sulit menemukan buku-buku seperti itu.
Kutebak kau telah melukiskan 30 gambar, entah gambar apa itu. Karena aku selalu menghitung, berapa kali suara robekan kanvas yang selesai kau lukis untuk kau ganti dengan kanvas baru. Kalau saja kau ijinkan aku untuk menyentuh lukisanmu, mungkin aku bisa mambayangkan apa yang kau lukis.
Buku ke 100 ini menceritakan tentang seorang anak yang berjuang untuk
bertemu dengan Ayahnya yang meninggalkannya saat ia masih kecil. Kadang aku
kesal sendiri dengan cerita seperti itu. Kenapa ada saja orang tua yang
meninggalkan anaknya? Seperti biasa aku mengomel ketika jalur cerita tidak
sesuai dengan keinginanku, aku mengomel padamu, yang aku yakin ekpresi wajahku
pasti sangat aneh, bukan ? Tapi aku terharu akan ketegaran Anne Williams yang
akhirnya menemukan Ayahnya, salah, maksudku menemukan informasi tentang Ayahnya
yang telah meninggal dan akhirnya setelah 10 tahun mencari ia bertemu dengan
Ayahnya, walaupun sebatas diatas pusara.
Terima kasih, Alya. Kau lah yang membuatku bersemangat setelah aku terpuruk karena kecelakaan yang merenggut penglihatanku. Kau juga yang mengajariku berlatih membaca huruf-huruf Braille. Aku penasaran, darimana kau bisa tahu banyak tentang huruf Braille, Alya?
Hari ini pula buku jurnalku yang pertama habis. Kau mengetuk tiga kali meja didepanku, tandanya buku itu hanya bersisa tiga lembar. Aku tahu kau bermaksud membelikan lagi buku jurnal untukku. Namun aku rasa tak perlu, setelah aku membaca buku, aku ingin mencoba sesuatu yang lain, bersamamu. Mungkin kau bisa mengajariku gitar, Alya? Beberapa kali ketika aku tak mendengar suara goresan penamu, aku mendengar dentingan suara gitar disebelahku. Yang perlu aku lakukan sekarang adalah memberi kata-kata penutup untuk buku jurnalku.
Dan Aku merasa lebih beruntung karena dulu aku aktif Pramuka, sehingga aku mudah memahami kode-kode morse yang kau berikan melalui ketukan-ketukan itu. Mungkin orang lain mengira persahabatan kita aneh. Berbicara melalui bahasa-bahasa yang tak biasa. Ah, bagiku sih, itu tak masalah.
Setelah aku menyuruhmu menuliskan kata-kata terakhirku untuk jurnal pertamaku, kau tiba-tiba menyerahkan sebuah buku ditanganku, dengan beberapa ketukan kecil, kau bilang itu hadiah untukku. Setelah kau menyerahkan buku itu, aku mendengar kau berdiri dari tempat dudukmu.
“Kau mau kemana?,” Tanyaku. Lalu kau menjawab dengan tepukan kecil di pundakku, tandanya kau ingin aku menunggumu sebentar. Aku mengerti. Kuanggukkan kepalaku pelan dan kemudian kudengar suara langkah kakimu menjauh.
Sementara kau pergi, aku meraba-raba buku yang baru saja kau berikan, saat aku mulai membaca kalimat pertama dari buku itu, aku langsung mengetahui bahwa itu bukanlah sebuah novel.
“Hai, Alika. Mungkin ini saatnya kau tahu apa saja yang kutulis dalam buku jurnalmu. Silakan membaca buku ke-101, Alika.”
Aku tersenyum terharu membaca kalimat pembuka dari buku tersebut.
Bagaimana bisa kau mempunyai ide untuk mencetak buku jurnalku dengan huruf
Braille? Dan lagi, dimana kau mendapat percetakan yang memiliki alat pencetak
untuk huruf Braille?
Setelah hampir setengah jam, aku meraba-raba kalimat demi kalimat yang telah kau tulis sesuai dengan “kemampuanku”. Tak kusangka kau tak hanya menuliskan kesan-kesanku mengenai buku-buku yang kubaca. Beberapa—maksudku hampir dibawah setiap kalimat yang kuucapkan, kau tuliskan juga bagaimana ekspresi wajahku saat itu. Aku tertawa, membayangkan aku yang tiba-tiba mengomel karena teman-teman Harry Potter tak ada yang mempercayai bahwa Lord Voldemort telah bangkit lagi dan lagi aku membayangkan bagaimana dengan tiba-tiba aku mengguncang-guncangkan lenganmu dengan bersemangat ketika mengetahui Arai dan Ikal akhirnya bisa mencapai impian-impian masa kecilnya, mengelilingi Eropa, kuliah diluar negeri.
“Kau harus tahu betapa kagetnya aku ketika kau tiba-tiba mengomel tentang Harry Potter dan Lord Valdemit—atau siapa lah itu aku tak tahu. Kau mengerutkan keningmu, lalu seperti biasa, mimik wajahmu berubah menjadi sangat lucu. Aku jadi tidak konsentrasi melanjutkan lukisanku karena kau. Dasar.”
“Kapan sih, kau bisa tenang kalau
membaca buku? Hari ini saja kau tiba-tiba mengguncang-guncangkan lenganku
ketika kau mengetahui tokoh utama dalam buku itu berhasil mencapai impiannya. Lukisanku
jadi tercoret, kan. Kelak kalau kau membaca ini kau harus mempersiapkan ganti
rugi untukku. Hahaha.”
Lembar demi lembar kubaca. Kadang aku tertawa, walaupun aku lebih sering merasa bersalah kepadamu kalau mengingat kehebohanku setiap aku membaca buku. Ngomong-ngomong aku jadi semakin penasaran, sebenarnya apa sih yang sedang kau lukis? Pokoknya setelah kau kembali nanti, aku harus menanyakan kepadamu apa yang kau lukis.
Dua jam berlalu dan aku belum juga mendengar suara langkahmu mendekat. Kau kemana, Alya? Aku hampir menyelesaikan jurnal Braille-ku. Setiap kali aku membuka lembar baru dan “membacanya” aku seperti menemukan kejutan-kejutan kecil dari tulisan-tulisanmu yang tertera disana. Tiba-tiba aku merasa kehebohanku akan keluar lagi. Alya, cepat kembali, buku ke 101 yang kau berikan ini kukira akan menjadi puncak kehebohanku dalam mengomentari sebuah buku.
Sampai akhirnya aku sampai pada lembar terakhir, di lembar terakhir jurnal Braille-ku, tulisanmu baru sampai pada saat aku mengomentari buku ke 99, yaitu kumpulan sajak milik Sapardi Djoko Damono yang tergabung dalam bukunya yang berjudul Hujan Bulan Juni. Sajak favoritku dalam buku itu adalah sajak yang berjudul ‘Yang Fana adalah Waktu’ dan setelah membaca jurnalku, aku baru tahu sajak yang paling kau suka dalam buku itu adalah sajak yang berjudul ‘Sementara Kita Saling Berbisik’. Aku sedikit lupa pada sajak itu, mungkin setelah ini aku akan membaca sajak itu lagi, mencoba merasakan sajak yang kau suka.
Derap langkah tergesa menghampiriku, kudengar langkahnya tak seperti langkahmu. Langkah yang kali ini mendekatiku sedikit lebih ringan daripada suara langkahmu. Kukira dia Ayodya, adikku.
“Kak, baru saja seseorang menitipkan ini untukmu,” Ucap Ayodya dengan sedikit terbata. Lalu ia menyerahkan gulungan-gulungan kertas kepadaku. Setelah menerimanya, aku segera “melihat” isi dari gulungan-gulungan kertas itu. Kurasakan gambar seseorang yang sedang duduk dan membaca buku, aku kembali meraba kertas itu, mencoba merasakan detil gambar tersebut. Akhirnya aku menyadari itu adalah gambar seorang gadis yang sedang serius membaca buku. Cepat-cepat kuhitung lembaran-lembaran kertas itu. Ada 30 lembar.
Alya..
“Kak Alya? Ini dari Kak Alya, kan? Dimana ia sekarang?,” Ucapku tergesa.
“Ia.. Sebenarnya Kak Alya telah pergi satu jam yang lalu, Kak,”
Pergi? Pergi kemana? Alya..
“Kak Alya menyuruhku untuk tak mengatakannya padamu sampai hari
keberangkatannya. Ia menyuruhku untuk menyerahkan lukisan-lukisan itu dan…
Surat ini,” Ucap Ayodya sembari menyerahkan sepucuk surat padaku.
“Hai Alika, maaf sebelumnya jika aku tak memberitahumu bahwa aku akan pergi. Ketika kau membaca surat ini, aku yakin kau juga sudah menyelesaikan jurnal Braille-mu. Bagaimana? Apakah kau senang dapat membaca jurnalmu? Maaf ya, Aku sering menambah kata-kata dalam jurnalmu. Kau tak marah, kan? Aku yakin tidak. Hehe. Alika, aku juga menitipkan lukisan-lukisanku pada Ayodya untukmu. Kau bisa melihatnya? Aku berusaha sebaik mungkin untuk menggambar ekspresi wajahmu. Ceria, marah, bersemangat, bersedih. Aku ingin kau menyadari bahwa kau cantik, Alika. Kau cantik. Jika saja aku dapat mengungkapkan dengan kata-kata dari mulutku, bukan hanya dari ketukan-ketukan morse di mejamu, aku pasti sudah menjadi orang tergombal yang pernah kau temui dan mungkin saja kau akan muak dengan gombalan-gombalanku. Jadi pada saat tertentu aku merasa bersyukur selama ini aku hanya dapat mengungkapkan melalui ketukan.
Alika, aku pergi untuk waktu yang
cukup lama. Kau teruskan hidupmu ya, jangan pernah bersedih lagi, teruslah
bersemangat dalam segala hal. Cobalah membuat sebuah karya luar biasa. Cobalah kau
belajar musik. Mungkin kau bisa menjadi komposer atau pencipta lagu yang hebat.
Atau kau masih ingin mencoba menjadi penyihir seperti Harry Potter? Mengayunkan
tongkat sihirmu sambil merapal mantra “Alohomora”, mantra yang membuat semua
kunci akan terbuka? Apapun itu aku akan menunggu karya pertamamu lahir.
Yang selalu ingin melihatmu
tersenyum manis. Alya.”
Aku kembali melipat surat itu perlahan. Perasaanku menjadi tak karuan. Tiba-tiba tubuhku terasa lemas. Tak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Aku kalut. Hampir saja kuremas surat yang kau berikan kepadaku. Ayodya menepuk pundakku, lalu ia memelukku. Tangisku tak tertahan lagi.
“Sebenarnya ada apa ini, Ayodya? Ceritakanlah kepadaku!,” Ucapku setengah
membentak. Kudengar Ayodya justru ikut menangis dan ia semakin memeluk erat
tubuhku.
Alya, kau kemana? Secepat itukah? Dua jam lalu kau masih disini, disebelahku, mengetuk meja, menepuk pundakku, menuliskan pesan terakhirku untuk buku jurnalku. Sekarang kau pergi?
***
Setahun berlalu, aku tak mendengar kabar dari Alya. Sampai sekarang aku
belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku sempat sangat kacau karena Alya
tiba-tiba pergi begitu saja. Aku mengenalnya, beberapa bulan setelah aku
mengalami kecelakaan. Aku memang belum pernah melihatnya secara langsung. Tapi ia
sangat baik. Ayodya mengatakan Alya sangat cantik. Walaupun begitu ia tak
pernah mengijinkanku untuk menyentuh wajahnya. Suaranya pun aku tak pernah
mendengarnya. Aku tahu, ia tuna wicara. Ayodya mengatakannya padaku dan ia juga
menjelaskan betapa indah lukisan yang dibuat oleh Alya. Itulah alasan mengapa
aku sangat senang mempunyai sahabat seperti Alya. Ia mirip ibu.
Ibuku juga sangat pandai melukis. Waktu aku kecil aku dan kedua adikku
sering dilukisnya. Itulah alasan mengapa aku sangat hafal suara goresan pena. Terlebih
setelah Tuhan mengambil penglihatanku, indra pendengaranku menjadi sangat peka.
Mudah sekali mengenali suara-suara. Suara goresan pena, sobekan kertas, derap
langkah..
Tunggu dulu. Alya.
Nama lengkap ibuku Anita Rosalya Cahyadi. Alya, ibu, Alya, ibu, Alya,
ibu..
Kenapa aku baru menyadarinya sekarang?! Bodoh.
Aku bergegas menemui Ayodya. Berteriak memanggil namanya agar ia tahu aku mencarinya. Tak lama kemudian Ayodya menghampiriku.
“Alya sebenarnya siapa?,” Tanyaku
“Kak Alika..,”
“Siapa ia?! Jawab aku! Benarkah Alya itu ibu?! Kenapa semua orang
merahasiakannya kepadaku?,” teriakku padanya. Aku semakin kacau. Sejujurnya aku
tak ingin mendengar jawaban dari Ayodya tentang Alya. Aku takut aku tak sanggup
jika itu benar-benar ibu.
Ayodya tak menjawab apapun. Ia justru terisak. Isakannya membuatku
semakin yakin kalau dugaanku benar. Tubuhku lemas. Aku terjatuh. Tak ingat
apa-apa lagi.
***
28 Juni 2000
“Ibu Anita berhasil melewati masa kritisnya, Pak,” Ucap Dokter yang
menangani Ibu.
Mendengar hal itu Ayah dan kedua adik Alika merasa sangat lega. Tadinya mereka berniat untuk langsung memberitahu Alika tentang kepulihan ibunya. Namun saat itu kondisi Alika sedang sangat terpuruk. Ia tak mau keluar kamar, yang ia lakukan hanya memejamkan matanya. Ia terlalu takut untuk menerima kenyataan bahwa semuanya akan sama-sama gelap ketika ia membuka matanya. Akhirnya mereka menunda untuk memberitahu Alika.
Sebulan berlalu, kondisi Ibu Alika semakin membaik. Hanya saja ia masih sering merasa pusing dan lemas. Kondisi Alika justru makin memburuk. Ia semakin menutup diri. Tak mau bergaul. Ibu mana yang tak terpukul melihat kondisi anak gadisnya seperti itu. Ia berharap ia segera sembuh dari sakitnya dan segera membangkitkan semangat Alika untuk terus hidup.
Harapan memang sering tak sesuai dengan kenyataan. Setelah beberapa saat kondisi Ibu Alika membaik, ia justru divonis bahwa hidupnya hanya tinggal beberapa bulan lagi. Ternyata rasa pusing yang dideritanya berasal dari pembekuan darah di kepalanya akibat benturan saat kecelakaan. Pada awalnya pembekuan darah itu masih dapat diobati dengan meninum berbagai macam obat yang diberikan oleh dokter. Namun Tuhan berkata lain.
“Ibu.. Ibu jangan pergi. Kak Alika. Aku, Ayah, Alisa bagaimana? Kak Alika bagaimana jika tak ada ibu?,” Ucap Ayodya sambil menahan tangisnya.
“Tenang saja Nak, ibu akan tetap bersama kalian. Kak Alika biar ibu saja yang mengurusnya. Kau jangan bilang tentang ibu kepadanya, ya,”
***
02 Agustus 2000
“Kak Alika, aku masuk ya, aku membawa seseorang untukmu,” Ucap Ayodya.
Ayodya dan ibunya melangkah masuk ke kamar Alika. Ia masih tertidur membelakangi mereka. Menyadari ada orang yang masuk kamarnya, Alika justru menghindar. Perlahan Ibunya mendekati Alika. Ia lalu mengelus kepala Alika. Air matanya mulai mengalir.
“Kak Alika, ini ib..,” belum selesai Ayodya menyelesaikannya, ibunya meletakkan jari telunjuknya di bibirnya, tandanya ia tak ingin Alika tahu ia ada disini. Ia lalu menggandeng Ayodya keluar kamar.
“Ibu, kenapa ibu?,”
“Biarlah, Nak. Ibu tak ingin ia tahu kondisi ibu. Ibu tak ingin ia tahu aku hanya punya waktu yang sangat sebentar untuk menemaninya lagi. Biarlah ibu disisinya sebagai orang lain. Ibu akan berusaha sekuat tenaga mengembalikan semangatnya. Ibu akan membuat Kak Alika-mu kembali, sebelum ibu yang akhirnya harus pergi..,”
Ayodya tak kuasa menahan harunya. Ia memeluk ibunya dengan erat.
Ibunya, ibu mereka, ibu paling
luar biasa di seluruh dunia.
Kasih ibu, kepada beta tak terhingga sepanjang masa.
Hanya memberi, tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia..
--Oriza Utami. Di malam yang masih terlalu malam dan di pagi yang masih terlalu pagi.
naiiisss!
BalasHapus