Sabtu, 18 Januari 2014

Ibu dan Hujan

Aku menyalin seragamku; seragam putih, rok merah. Lantas duduk di depan tv, mencari-cari film kartun yang aku sukai.

Umurku 9 tahun, aku sudah cukup bosan dengan ritual ini. Namun ada satu hal yang tak pernah membuatku bosan.. menyaksikan hujan! Air-air itu turun dari langit sembari menari dan menyanyi. Aku selalu tertarik bermain dengannya.. hanya saja aku takut meminta izin pada Ibuku, khawatir tidak diizinkan. Ibu banyak bercerita kalau-kalau di tv muncul berita; banjir, itu disebabkan hujan.

Aku tidak mengerti apa yang Ibu ceritakan, masih jelas menurutku bahwa hujan memang menyenangkan.

Baru sepuluh menit aku menonton film kartun favoritku, hujan turun. Entah kini apa yang membuatku merasa begitu bosan dengan film favoritku itu, aku merasa di luar sana lebih menarik; hujan. Lalu aku memohon pada Ibu untuk bermain keluar, tak ingin melewatkan momen hujan-hujanan – yang lebih dulu dinikmati teman-temanku yang lainnya.

“jangan nak, dingin, nanti kamu sakit.”

Ya, aku sebenarnya sudah tau, pasti tidak boleh.

Di hari-hari selanjutnya di musim hujan, aku menunggu-nunggu waktu saat Ibu pergi ketika hujan tiba. Dan hari itu datang! Ibu sedang pergi arisan di tempat temannya, aku sendirian di rumah, dan hujan turun. “ini saatnya..” lantas aku berganti pakaian dengan yang paling nyaman. Keluar rumah berlari dengan gaya heroik, menyambut hujan dan segera bergabung berlarian dengan teman-temanku.

Ini lebih dari bayanganku! Hujan ini…. Hmm.. begitu menyenangkan! Aku menikmati setiap tetes hujan yang jatuh ke tubuh. Mendangak ke langit, merentangkan tangan.. “Hai hujan, aku akhirnya datang menyambutmu langsung”

Hujan berhenti, aku kembali ke rumah. Sedih nian tinggalkan perjumpaan pertama kali ku dengan hujan. Lalu aku tertidur di depan televisi sebelum berganti baju.

Ibu pulang, masuk ke ruang tengah, lantas membangunkanku. “nak, kamu kok badannya hangat? Kecapek-an ya habis sekolah?”

Aku bangun setengah sadar, menyambut hangat tangan ibuku sambil tersenyum.. “aku habis main hujan bu, menari di bawah hujan, bermain perahu-perahuan. Sangat mengasyikan.”

Lalu ibu memarahiku dengan wajah yang sedikit panik, sambil mengambil handuk kecil dan air hangat; untuk mengompres.

Aku hanya bisa tertidur lagi sambil tersenyum, karena marahnya ibu digantikan oleh belaian lembutnya di kepalaku. “Aku suka hujan, bu. Aku juga sayang ibu..”
--------------------------------------------------------------------------------------------------

Semenjak dulu kecil Ibu pernah melarangku hujan-hujanan, saat ini aku justru lebih sering hujan-hujanan. Bagiku Ibu masih salah, hujan ini kian romantis bagiku.

Hari ini hujan lagi. Aku pulang dengan segala kelelahan habis kuliah. Basah sekujur tubuh, namun otak menghangat karena banyak sekali deadline yang harus segera tuntas. Lelah. Aku rebahkan badanku di kasur yang sudah lama kurindukan.

Badanku hangat, pilek, batuk. Aku meringkuk kedinginan. Aku merasakan begitu marah dengan diriku. Baru kali ini aku menyesal hujan-hujanan. Bagaimana tidak, sakit saat banyak sekali deadline itu hal yang tidak menyenangkan.

Tiba-tiba aku rindu belaian Ibu, “Mungkin Ibu ada benarnya.. aku harusnya jangan main hujan-hujanan.”

Semenjak sakit ini, aku kemudian memperbaiki segala persepsiku tentang Ibu yang banyak melarangku dulu waktu kecil. Kini aku tau, segala larangan Ibu itu karena Ibu sayang..

Tapi lantas aku tidak membenci hujan, ia tetap sebuah drama terindah yang turun dari langit; dengan tari dan nyanyiannya.

Terlebih saat aku tau bahwa hujan adalah saat dimana doa kita banyak bisa didengar dan dikabulkan Tuhan. Aku makin takjub dengan hujan ini.

Masih dalam keadaan meringkuk kedinginan, aku lirih berdialog pada Tuhan.. “Aku rindu Ibu. Tolong sampaikan maafku karna aku hujan-hujanan dan aku sakit saat ini. Jaga Ibu ya Rabbi..”

Semoga doa ini mengalir hingga kerumahku disana bersama hujan J


Oleh : Farhania A.S.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar