Aku menyalin seragamku; seragam putih, rok merah. Lantas
duduk di depan tv, mencari-cari film kartun yang aku sukai.
Umurku 9 tahun, aku sudah cukup bosan dengan ritual ini.
Namun ada satu hal yang tak pernah membuatku bosan.. menyaksikan hujan! Air-air
itu turun dari langit sembari menari dan menyanyi. Aku selalu tertarik bermain
dengannya.. hanya saja aku takut meminta izin pada Ibuku, khawatir tidak
diizinkan. Ibu banyak bercerita kalau-kalau di tv muncul berita; banjir, itu
disebabkan hujan.
Aku tidak mengerti apa yang Ibu ceritakan, masih jelas
menurutku bahwa hujan memang menyenangkan.
Baru sepuluh menit aku menonton film kartun favoritku, hujan
turun. Entah kini apa yang membuatku merasa begitu bosan dengan film favoritku
itu, aku merasa di luar sana lebih menarik; hujan. Lalu aku memohon pada Ibu
untuk bermain keluar, tak ingin melewatkan momen hujan-hujanan – yang lebih
dulu dinikmati teman-temanku yang lainnya.
“jangan nak, dingin, nanti kamu sakit.”
Ya, aku sebenarnya sudah tau, pasti tidak boleh.
Di hari-hari selanjutnya di musim hujan, aku menunggu-nunggu
waktu saat Ibu pergi ketika hujan tiba. Dan hari itu datang! Ibu sedang pergi
arisan di tempat temannya, aku sendirian di rumah, dan hujan turun. “ini
saatnya..” lantas aku berganti pakaian dengan yang paling nyaman. Keluar rumah berlari
dengan gaya heroik, menyambut hujan dan segera bergabung berlarian dengan
teman-temanku.
Ini lebih dari bayanganku! Hujan ini…. Hmm.. begitu
menyenangkan! Aku menikmati setiap tetes hujan yang jatuh ke tubuh. Mendangak
ke langit, merentangkan tangan.. “Hai hujan, aku akhirnya datang menyambutmu
langsung”
Hujan berhenti, aku kembali ke rumah. Sedih nian tinggalkan
perjumpaan pertama kali ku dengan hujan. Lalu aku tertidur di depan televisi
sebelum berganti baju.
Ibu pulang, masuk ke ruang tengah, lantas membangunkanku.
“nak, kamu kok badannya hangat? Kecapek-an ya habis sekolah?”
Aku bangun setengah sadar, menyambut hangat tangan ibuku
sambil tersenyum.. “aku habis main hujan bu, menari di bawah hujan, bermain
perahu-perahuan. Sangat mengasyikan.”
Lalu ibu memarahiku dengan wajah yang sedikit panik, sambil
mengambil handuk kecil dan air hangat; untuk mengompres.
Aku hanya bisa tertidur lagi sambil tersenyum, karena
marahnya ibu digantikan oleh belaian lembutnya di kepalaku. “Aku suka hujan,
bu. Aku juga sayang ibu..”
--------------------------------------------------------------------------------------------------
Semenjak dulu kecil Ibu pernah melarangku hujan-hujanan,
saat ini aku justru lebih sering hujan-hujanan. Bagiku Ibu masih salah, hujan
ini kian romantis bagiku.
Hari ini hujan lagi. Aku pulang dengan segala kelelahan
habis kuliah. Basah sekujur tubuh, namun otak menghangat karena banyak sekali
deadline yang harus segera tuntas. Lelah. Aku rebahkan badanku di kasur yang
sudah lama kurindukan.
Badanku hangat, pilek, batuk. Aku meringkuk kedinginan. Aku
merasakan begitu marah dengan diriku. Baru kali ini aku menyesal hujan-hujanan.
Bagaimana tidak, sakit saat banyak sekali deadline itu hal yang tidak
menyenangkan.
Tiba-tiba aku rindu belaian Ibu, “Mungkin Ibu ada benarnya..
aku harusnya jangan main hujan-hujanan.”
Semenjak sakit ini, aku kemudian memperbaiki segala
persepsiku tentang Ibu yang banyak melarangku dulu waktu kecil. Kini aku tau,
segala larangan Ibu itu karena Ibu sayang..
Tapi lantas aku tidak membenci hujan, ia tetap sebuah drama terindah
yang turun dari langit; dengan tari dan nyanyiannya.
Terlebih saat aku tau bahwa hujan adalah saat dimana doa
kita banyak bisa didengar dan dikabulkan Tuhan. Aku makin takjub dengan hujan
ini.
Masih dalam keadaan meringkuk kedinginan, aku lirih
berdialog pada Tuhan.. “Aku rindu Ibu. Tolong sampaikan maafku karna aku
hujan-hujanan dan aku sakit saat ini. Jaga Ibu ya Rabbi..”
Semoga doa ini mengalir hingga kerumahku disana bersama
hujan J
Oleh : Farhania A.S.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar