Sabtu, 18 Januari 2014

Ibu dan Hujan

Aku menyalin seragamku; seragam putih, rok merah. Lantas duduk di depan tv, mencari-cari film kartun yang aku sukai.

Umurku 9 tahun, aku sudah cukup bosan dengan ritual ini. Namun ada satu hal yang tak pernah membuatku bosan.. menyaksikan hujan! Air-air itu turun dari langit sembari menari dan menyanyi. Aku selalu tertarik bermain dengannya.. hanya saja aku takut meminta izin pada Ibuku, khawatir tidak diizinkan. Ibu banyak bercerita kalau-kalau di tv muncul berita; banjir, itu disebabkan hujan.

Aku tidak mengerti apa yang Ibu ceritakan, masih jelas menurutku bahwa hujan memang menyenangkan.

Baru sepuluh menit aku menonton film kartun favoritku, hujan turun. Entah kini apa yang membuatku merasa begitu bosan dengan film favoritku itu, aku merasa di luar sana lebih menarik; hujan. Lalu aku memohon pada Ibu untuk bermain keluar, tak ingin melewatkan momen hujan-hujanan – yang lebih dulu dinikmati teman-temanku yang lainnya.

“jangan nak, dingin, nanti kamu sakit.”

Ya, aku sebenarnya sudah tau, pasti tidak boleh.

Di hari-hari selanjutnya di musim hujan, aku menunggu-nunggu waktu saat Ibu pergi ketika hujan tiba. Dan hari itu datang! Ibu sedang pergi arisan di tempat temannya, aku sendirian di rumah, dan hujan turun. “ini saatnya..” lantas aku berganti pakaian dengan yang paling nyaman. Keluar rumah berlari dengan gaya heroik, menyambut hujan dan segera bergabung berlarian dengan teman-temanku.

Ini lebih dari bayanganku! Hujan ini…. Hmm.. begitu menyenangkan! Aku menikmati setiap tetes hujan yang jatuh ke tubuh. Mendangak ke langit, merentangkan tangan.. “Hai hujan, aku akhirnya datang menyambutmu langsung”

Hujan berhenti, aku kembali ke rumah. Sedih nian tinggalkan perjumpaan pertama kali ku dengan hujan. Lalu aku tertidur di depan televisi sebelum berganti baju.

Ibu pulang, masuk ke ruang tengah, lantas membangunkanku. “nak, kamu kok badannya hangat? Kecapek-an ya habis sekolah?”

Aku bangun setengah sadar, menyambut hangat tangan ibuku sambil tersenyum.. “aku habis main hujan bu, menari di bawah hujan, bermain perahu-perahuan. Sangat mengasyikan.”

Lalu ibu memarahiku dengan wajah yang sedikit panik, sambil mengambil handuk kecil dan air hangat; untuk mengompres.

Aku hanya bisa tertidur lagi sambil tersenyum, karena marahnya ibu digantikan oleh belaian lembutnya di kepalaku. “Aku suka hujan, bu. Aku juga sayang ibu..”
--------------------------------------------------------------------------------------------------

Semenjak dulu kecil Ibu pernah melarangku hujan-hujanan, saat ini aku justru lebih sering hujan-hujanan. Bagiku Ibu masih salah, hujan ini kian romantis bagiku.

Hari ini hujan lagi. Aku pulang dengan segala kelelahan habis kuliah. Basah sekujur tubuh, namun otak menghangat karena banyak sekali deadline yang harus segera tuntas. Lelah. Aku rebahkan badanku di kasur yang sudah lama kurindukan.

Badanku hangat, pilek, batuk. Aku meringkuk kedinginan. Aku merasakan begitu marah dengan diriku. Baru kali ini aku menyesal hujan-hujanan. Bagaimana tidak, sakit saat banyak sekali deadline itu hal yang tidak menyenangkan.

Tiba-tiba aku rindu belaian Ibu, “Mungkin Ibu ada benarnya.. aku harusnya jangan main hujan-hujanan.”

Semenjak sakit ini, aku kemudian memperbaiki segala persepsiku tentang Ibu yang banyak melarangku dulu waktu kecil. Kini aku tau, segala larangan Ibu itu karena Ibu sayang..

Tapi lantas aku tidak membenci hujan, ia tetap sebuah drama terindah yang turun dari langit; dengan tari dan nyanyiannya.

Terlebih saat aku tau bahwa hujan adalah saat dimana doa kita banyak bisa didengar dan dikabulkan Tuhan. Aku makin takjub dengan hujan ini.

Masih dalam keadaan meringkuk kedinginan, aku lirih berdialog pada Tuhan.. “Aku rindu Ibu. Tolong sampaikan maafku karna aku hujan-hujanan dan aku sakit saat ini. Jaga Ibu ya Rabbi..”

Semoga doa ini mengalir hingga kerumahku disana bersama hujan J


Oleh : Farhania A.S.





Buku ke 101 untuk sketsa ke 30



Biarlah kau tak mengenaliku, tak pernah kau tahu wajahku, tak pernah kau dengar suaraku. Aku hanya ingin senyummu kembali. Seperti dulu.
Aku terpekur memandangi jemarimu yang lembut membelai berlembar-lembar kertas yang berisi tonjolan-tonjolan kecil yang selalu kau sebut “Penyelamat” duniamu dari kegelapan.  Hari ini akhirnya kau telah menyelesaikan novel yang berbulan-bulan lalu ingin segera kau selesaikan. Senyummu mengembang saat kau tahu tokoh utama dalam novel itu akhirnya menemukan keluarganya yang terpisah selama bertahun-tahun.
Perkenalkan, namaku Alya. 
Kemudian dengan semangat kau menceritakan lagi dari awal cerita yang baru saja kau baca. Seperti biasa, Aku hanya fokus mendengarkan. Tak ada detil yang terlewat sedikitpun. Kau bercerita bagaimana anak kecil yang bernama Anne William berjuang hidup di kota, sendirian, demi bertemu Ayahnya yang meninggalkannya saat ia kecil. Kau bercerita tentang bagaimana Anne William bertemu dengan Bibi Olga yang baik hati. Sampai pada akhirnya, kau bercerita tentang bagaimana ketegaran Anne  menemukan Ayahnya yang ternyata telah meninggal dunia karena terkena peluru prajurit Inggris yang tengah menjadi pemberontak.
Aku suka memandanginya saat ia serius “membaca” dengan jemarinya. Ia terlihat begitu bahagia. Aku senang melihatnya bahagia.
Seperti biasa, selesai kau bercerita, aku kau suruh untuk menuliskan judul dan kesanmu mengenai cerita itu di sebuah buku kumal yang kau namai buku Jurnal. Kau selalu berkata, “Kelak ibu akan membacanya dan tersenyum bangga karena putrinya telah membaca banyak buku!,” . Seperti biasa, aku pun hanya tersenyum mendengar kalimat yang sudah kuhafal itu, sebelum beberapa detik kemudian aku mulai menggoreskan penaku, menjadikan perkataanmu tertera diatas buku Jurnal milikmu.
Ups, aku yakin kau akan melonjak kegirangan jika kukatakan hal itu padamu, dan aku yakin kau akan menggodaku berulang kali jika kau tahu hal itu. Tak perlulah kau tahu, toh menuliskan jurnalmu saja aku sudah bahagia.
Hari ini, tepat 100 buku yang telah tamat kau baca. Dari kesemua buku yang telah kau baca, aku dapat menyimpulkan, buku-buku favoritmu adalah buku-buku yang berlatar belakang jaman eropa klasik. Kau bilang kau suka membayangkan putri-putri Eropa mengenakan topi yang berhiaskan bunga-bunga besar, bergaun indah, didampingi oleh seorang pangeran tampan, seperti yang pernah kau lihat dalam film Cinderella beberapa tahun yang lalu. Hari ini pula buku jurnalmu yang pertama hampir habis. Hanya tinggal beberapa lembar lagi.
Coba saja kalau kau tahu apa saja kata-kata yang aku selipkan diantara kata-kata yang ingin kau tuliskan. Aku ingin tahu bagaimana ekspresimu.
“Jika masih ada lembar tersisa, aku ingin kau menuliskan ini untukku. Terima kasih telah menjadi sahabat terbaikku, Alya. Aku sungguh sangat menyayangimu. Semoga kita dapat bersahabat seperti pena dan kertas. Saling melengkapi satu sama lain,”
Air mataku hampir saja menetes mendengar kau mengucapkan kalimat itu, aku tak menyangka kau akan berkata bahwa kau begitu menyayangiku. Selesai menuliskan kata-katamu, kembali aku selipkan kata-kataku di belakang kata-katamu.
Mungkin sebentar lagi kau akan tahu.
***
Perkenalkan namaku Alika. 

Hari ini tepat buku ke 100 yang aku baca. Kau ingin tahu bagaimana rasanya? Bahagia. Ya tentu saja aku bahagia. Ke seratus buku ini, bukan merupakan buku-buku biasa yang dapat dibaca oleh orang biasa. Buku-buku dengan huruf Braille. Ya, sejak dua tahun lalu aku kehilangan penglihatanku karena sebuah kecelakaan. Aku mengalami kecelakaan bersama Ayah, Ibu dan kedua adikku. Beruntung Ayah dan kedua adikku selamat. Hanya saja, ibu masih terbaring koma dirumah sakit, katanya tak tahu sampai kapan. Ah, tapi aku yakin ibu akan membuka matanya lagi suatu hari nanti.

Aku tahu setiap kali kau menungguku membaca buku, kau melukiskan sesuatu disebelahku. Suara goresan pena pada kanvas itu sangat khas. Tentu saja aku mengenalinya.

Aku suka setiap kali membaca kau duduk disampingku, menggoreskan penamu pada kanvas. Apa yang sedang kau lukis, Alya? Ingin rasanya aku bertanya seperti itu. Tapi kuurungkan, mungkin suatu saat nanti kau akan memberitahuku dengan sendirinya. Jika saja kau tahu, aku merasa beruntung memiliki sahabat sepertimu. Rela mendengar ocehanku tentang buku-buku yang baru saja kubaca. Rela menuliskan apa saja yang ingin aku tuliskan. Rela mencarikan buku-buku berhuruf Braille untukku, yang aku yakin pasti sangat sulit menemukan buku-buku seperti itu.

Kutebak kau telah melukiskan 30 gambar, entah gambar apa itu. Karena aku selalu menghitung, berapa kali suara robekan kanvas yang selesai kau lukis untuk kau ganti dengan kanvas baru. Kalau saja kau ijinkan aku untuk menyentuh lukisanmu, mungkin aku bisa mambayangkan apa yang kau lukis.
 
Buku ke 100 ini menceritakan tentang seorang anak yang berjuang untuk bertemu dengan Ayahnya yang meninggalkannya saat ia masih kecil. Kadang aku kesal sendiri dengan cerita seperti itu. Kenapa ada saja orang tua yang meninggalkan anaknya? Seperti biasa aku mengomel ketika jalur cerita tidak sesuai dengan keinginanku, aku mengomel padamu, yang aku yakin ekpresi wajahku pasti sangat aneh, bukan ? Tapi aku terharu akan ketegaran Anne Williams yang akhirnya menemukan Ayahnya, salah, maksudku menemukan informasi tentang Ayahnya yang telah meninggal dan akhirnya setelah 10 tahun mencari ia bertemu dengan Ayahnya, walaupun sebatas diatas pusara.

Terima kasih, Alya. Kau lah yang membuatku bersemangat setelah aku terpuruk karena kecelakaan yang merenggut penglihatanku. Kau juga yang mengajariku berlatih membaca huruf-huruf Braille. Aku penasaran, darimana kau bisa tahu banyak tentang huruf Braille, Alya?

Hari ini pula buku jurnalku yang pertama habis. Kau mengetuk tiga kali meja didepanku, tandanya buku itu hanya bersisa tiga lembar. Aku tahu kau bermaksud membelikan lagi buku jurnal untukku. Namun aku rasa tak perlu, setelah aku membaca buku, aku ingin mencoba sesuatu yang lain, bersamamu. Mungkin kau bisa mengajariku gitar, Alya? Beberapa kali ketika aku tak mendengar suara goresan penamu, aku mendengar dentingan suara gitar disebelahku. Yang perlu aku lakukan sekarang adalah memberi kata-kata penutup untuk buku jurnalku.

Dan Aku merasa lebih beruntung karena dulu aku aktif Pramuka, sehingga aku mudah memahami kode-kode morse yang kau berikan melalui ketukan-ketukan itu. Mungkin orang lain mengira persahabatan kita aneh. Berbicara melalui bahasa-bahasa yang tak biasa. Ah, bagiku sih, itu tak masalah. 

Setelah aku menyuruhmu menuliskan kata-kata terakhirku untuk jurnal pertamaku, kau tiba-tiba menyerahkan sebuah buku ditanganku, dengan beberapa ketukan kecil, kau bilang itu hadiah untukku. Setelah kau menyerahkan buku itu, aku mendengar kau berdiri dari tempat dudukmu.

“Kau mau kemana?,” Tanyaku. Lalu kau menjawab dengan tepukan kecil di pundakku, tandanya kau ingin aku menunggumu sebentar. Aku mengerti. Kuanggukkan kepalaku pelan dan kemudian kudengar suara langkah kakimu menjauh.

Sementara kau pergi, aku meraba-raba buku yang baru saja kau berikan, saat aku mulai membaca kalimat pertama dari buku itu, aku langsung mengetahui bahwa itu bukanlah sebuah novel.

“Hai, Alika. Mungkin ini saatnya kau tahu apa saja yang kutulis dalam buku jurnalmu. Silakan membaca buku ke-101, Alika.”
Aku tersenyum terharu membaca kalimat pembuka dari buku tersebut. Bagaimana bisa kau mempunyai ide untuk mencetak buku jurnalku dengan huruf Braille? Dan lagi, dimana kau mendapat percetakan yang memiliki alat pencetak untuk huruf Braille?

Setelah hampir setengah jam, aku meraba-raba kalimat demi kalimat yang telah kau tulis sesuai dengan “kemampuanku”. Tak kusangka kau tak hanya menuliskan kesan-kesanku mengenai buku-buku yang kubaca. Beberapa—maksudku hampir dibawah setiap kalimat yang kuucapkan, kau tuliskan juga bagaimana ekspresi wajahku saat itu. Aku tertawa, membayangkan aku yang tiba-tiba mengomel karena teman-teman Harry Potter tak ada yang mempercayai bahwa Lord Voldemort telah bangkit lagi dan lagi aku membayangkan bagaimana dengan tiba-tiba aku mengguncang-guncangkan lenganmu dengan bersemangat ketika mengetahui Arai dan Ikal akhirnya bisa mencapai impian-impian masa kecilnya, mengelilingi Eropa, kuliah diluar negeri.

Kau harus tahu betapa kagetnya aku ketika kau tiba-tiba mengomel tentang Harry Potter dan Lord Valdemit—atau siapa lah itu aku tak tahu. Kau mengerutkan keningmu, lalu seperti biasa, mimik wajahmu berubah menjadi sangat lucu. Aku jadi tidak konsentrasi melanjutkan lukisanku karena kau. Dasar.”
“Kapan sih, kau bisa tenang kalau membaca buku? Hari ini saja kau tiba-tiba mengguncang-guncangkan lenganku ketika kau mengetahui tokoh utama dalam buku itu berhasil mencapai impiannya. Lukisanku jadi tercoret, kan. Kelak kalau kau membaca ini kau harus mempersiapkan ganti rugi untukku. Hahaha.”

Lembar demi lembar kubaca. Kadang aku tertawa, walaupun aku lebih sering merasa bersalah kepadamu kalau mengingat kehebohanku setiap aku membaca buku. Ngomong-ngomong aku jadi semakin penasaran, sebenarnya apa sih yang sedang kau lukis? Pokoknya setelah kau kembali nanti, aku harus menanyakan kepadamu apa yang kau lukis.

Dua jam berlalu dan aku belum juga mendengar suara langkahmu mendekat. Kau kemana, Alya? Aku hampir menyelesaikan jurnal Braille-ku. Setiap kali aku membuka lembar baru dan “membacanya” aku seperti menemukan kejutan-kejutan kecil dari tulisan-tulisanmu yang tertera disana. Tiba-tiba aku merasa kehebohanku akan keluar lagi. Alya, cepat kembali, buku ke 101 yang kau berikan ini kukira akan menjadi puncak kehebohanku dalam mengomentari sebuah buku.

Sampai akhirnya aku sampai pada lembar terakhir, di lembar terakhir jurnal Braille-ku, tulisanmu baru sampai pada saat aku mengomentari buku ke 99, yaitu kumpulan sajak milik Sapardi Djoko Damono yang tergabung dalam bukunya yang berjudul Hujan Bulan Juni. Sajak favoritku dalam buku itu adalah sajak yang berjudul ‘Yang Fana adalah Waktu’ dan setelah membaca jurnalku, aku baru tahu sajak yang paling kau suka dalam buku itu adalah sajak yang berjudul ‘Sementara Kita Saling Berbisik’. Aku sedikit lupa pada sajak itu, mungkin setelah ini aku akan membaca sajak itu lagi, mencoba merasakan sajak yang kau suka.

Derap langkah tergesa menghampiriku, kudengar langkahnya tak seperti langkahmu. Langkah yang kali ini mendekatiku sedikit lebih ringan daripada suara langkahmu. Kukira dia Ayodya, adikku.

“Kak, baru saja seseorang menitipkan ini untukmu,” Ucap Ayodya dengan sedikit terbata. Lalu ia menyerahkan gulungan-gulungan kertas kepadaku. Setelah menerimanya, aku segera “melihat” isi dari gulungan-gulungan kertas itu. Kurasakan gambar seseorang yang sedang duduk dan membaca buku, aku kembali meraba kertas itu, mencoba merasakan detil gambar tersebut. Akhirnya aku menyadari itu adalah gambar seorang gadis yang sedang serius membaca buku. Cepat-cepat kuhitung lembaran-lembaran kertas itu. Ada 30 lembar.

Alya..
“Kak Alya? Ini dari Kak Alya, kan? Dimana ia sekarang?,” Ucapku tergesa.
“Ia.. Sebenarnya Kak Alya telah pergi satu jam yang lalu, Kak,”
Pergi? Pergi kemana? Alya..
“Kak Alya menyuruhku untuk tak mengatakannya padamu sampai hari keberangkatannya. Ia menyuruhku untuk menyerahkan lukisan-lukisan itu dan… Surat ini,” Ucap Ayodya sembari menyerahkan sepucuk surat padaku.

“Hai Alika, maaf sebelumnya jika aku tak memberitahumu bahwa aku akan pergi. Ketika kau membaca surat ini, aku yakin kau juga sudah menyelesaikan jurnal Braille-mu. Bagaimana? Apakah kau senang dapat membaca jurnalmu? Maaf ya, Aku sering menambah kata-kata dalam jurnalmu. Kau tak marah, kan? Aku yakin tidak. Hehe. Alika, aku juga menitipkan lukisan-lukisanku pada Ayodya untukmu. Kau bisa melihatnya? Aku berusaha sebaik mungkin untuk menggambar ekspresi wajahmu. Ceria, marah, bersemangat, bersedih. Aku ingin kau menyadari bahwa kau cantik, Alika. Kau cantik. Jika saja aku dapat mengungkapkan dengan kata-kata dari mulutku, bukan hanya dari ketukan-ketukan morse di mejamu, aku pasti sudah menjadi orang tergombal yang pernah kau temui dan mungkin saja kau akan muak dengan gombalan-gombalanku. Jadi pada saat tertentu aku merasa bersyukur selama ini aku hanya dapat mengungkapkan melalui ketukan.
Alika, aku pergi untuk waktu yang cukup lama. Kau teruskan hidupmu ya, jangan pernah bersedih lagi, teruslah bersemangat dalam segala hal. Cobalah membuat sebuah karya luar biasa. Cobalah kau belajar musik. Mungkin kau bisa menjadi komposer atau pencipta lagu yang hebat. Atau kau masih ingin mencoba menjadi penyihir seperti Harry Potter? Mengayunkan tongkat sihirmu sambil merapal mantra “Alohomora”, mantra yang membuat semua kunci akan terbuka? Apapun itu aku akan menunggu karya pertamamu lahir.
Yang selalu ingin melihatmu tersenyum manis. Alya.”

Aku kembali melipat surat itu perlahan. Perasaanku menjadi tak karuan.  Tiba-tiba tubuhku terasa lemas. Tak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Aku kalut. Hampir saja kuremas surat yang kau berikan kepadaku. Ayodya menepuk pundakku, lalu ia memelukku. Tangisku tak tertahan lagi.
“Sebenarnya ada apa ini, Ayodya? Ceritakanlah kepadaku!,” Ucapku setengah membentak. Kudengar Ayodya justru ikut menangis dan ia semakin memeluk erat tubuhku.

Alya, kau kemana? Secepat itukah? Dua jam lalu kau masih disini, disebelahku, mengetuk meja, menepuk pundakku, menuliskan pesan terakhirku untuk buku jurnalku. Sekarang kau pergi?
***
Setahun berlalu, aku tak mendengar kabar dari Alya. Sampai sekarang aku belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku sempat sangat kacau karena Alya tiba-tiba pergi begitu saja. Aku mengenalnya, beberapa bulan setelah aku mengalami kecelakaan. Aku memang belum pernah melihatnya secara langsung. Tapi ia sangat baik. Ayodya mengatakan Alya sangat cantik. Walaupun begitu ia tak pernah mengijinkanku untuk menyentuh wajahnya. Suaranya pun aku tak pernah mendengarnya. Aku tahu, ia tuna wicara. Ayodya mengatakannya padaku dan ia juga menjelaskan betapa indah lukisan yang dibuat oleh Alya. Itulah alasan mengapa aku sangat senang mempunyai sahabat seperti Alya. Ia mirip ibu.
Ibuku juga sangat pandai melukis. Waktu aku kecil aku dan kedua adikku sering dilukisnya. Itulah alasan mengapa aku sangat hafal suara goresan pena. Terlebih setelah Tuhan mengambil penglihatanku, indra pendengaranku menjadi sangat peka. Mudah sekali mengenali suara-suara. Suara goresan pena, sobekan kertas, derap langkah..
Tunggu dulu. Alya.
 Nama lengkap ibuku Anita Rosalya Cahyadi. Alya, ibu, Alya, ibu, Alya, ibu..

Kenapa aku baru menyadarinya sekarang?! Bodoh.

Aku bergegas menemui Ayodya. Berteriak memanggil namanya agar ia tahu aku mencarinya. Tak lama kemudian Ayodya menghampiriku.
“Alya sebenarnya siapa?,” Tanyaku
“Kak Alika..,”
“Siapa ia?! Jawab aku! Benarkah Alya itu ibu?! Kenapa semua orang merahasiakannya kepadaku?,” teriakku padanya. Aku semakin kacau. Sejujurnya aku tak ingin mendengar jawaban dari Ayodya tentang Alya. Aku takut aku tak sanggup jika itu benar-benar ibu.
 Ayodya tak menjawab apapun. Ia justru terisak. Isakannya membuatku semakin yakin kalau dugaanku benar. Tubuhku lemas. Aku terjatuh. Tak ingat apa-apa lagi.

***
28 Juni 2000
“Ibu Anita berhasil melewati masa kritisnya, Pak,” Ucap Dokter yang menangani Ibu.

Mendengar hal itu Ayah dan kedua adik Alika merasa sangat lega. Tadinya mereka berniat untuk langsung memberitahu Alika tentang kepulihan ibunya. Namun saat itu kondisi Alika sedang sangat terpuruk. Ia tak mau keluar kamar, yang ia lakukan hanya memejamkan matanya. Ia terlalu takut untuk menerima kenyataan bahwa semuanya akan sama-sama gelap ketika ia membuka matanya. Akhirnya mereka menunda untuk memberitahu Alika.

 Sebulan berlalu, kondisi Ibu Alika semakin membaik. Hanya saja ia masih sering merasa pusing dan lemas. Kondisi Alika justru makin memburuk. Ia semakin menutup diri. Tak mau bergaul. Ibu mana yang tak terpukul melihat kondisi anak gadisnya seperti itu. Ia berharap ia segera sembuh dari sakitnya dan segera membangkitkan semangat Alika untuk terus hidup.

 Harapan memang sering tak sesuai dengan kenyataan. Setelah beberapa saat kondisi Ibu Alika membaik, ia justru divonis bahwa hidupnya hanya tinggal beberapa bulan lagi. Ternyata rasa pusing yang dideritanya berasal dari pembekuan darah di kepalanya akibat benturan saat kecelakaan. Pada awalnya pembekuan darah itu masih dapat diobati dengan meninum berbagai macam obat yang diberikan oleh dokter. Namun Tuhan berkata lain.

 “Ibu.. Ibu jangan pergi. Kak Alika. Aku, Ayah, Alisa bagaimana? Kak Alika bagaimana jika tak ada ibu?,” Ucap Ayodya sambil menahan tangisnya.

“Tenang saja Nak, ibu akan tetap bersama kalian. Kak Alika biar ibu saja yang mengurusnya. Kau jangan bilang tentang ibu kepadanya, ya,”
***
02 Agustus 2000
“Kak Alika, aku masuk ya, aku membawa seseorang untukmu,” Ucap Ayodya.

Ayodya dan ibunya melangkah masuk ke kamar Alika. Ia masih tertidur membelakangi mereka. Menyadari ada orang yang masuk kamarnya, Alika justru menghindar. Perlahan Ibunya mendekati Alika. Ia lalu mengelus kepala Alika. Air matanya mulai mengalir.

“Kak Alika, ini ib..,” belum selesai Ayodya menyelesaikannya, ibunya meletakkan jari telunjuknya di bibirnya, tandanya ia tak ingin Alika tahu ia ada disini. Ia lalu menggandeng Ayodya keluar kamar.

 “Ibu, kenapa ibu?,”

“Biarlah, Nak. Ibu tak ingin ia tahu kondisi ibu. Ibu tak ingin ia tahu aku hanya punya waktu yang sangat sebentar untuk menemaninya lagi. Biarlah ibu disisinya sebagai orang lain. Ibu akan berusaha sekuat tenaga mengembalikan semangatnya. Ibu akan membuat Kak Alika-mu kembali, sebelum ibu yang akhirnya harus pergi..,”

Ayodya tak kuasa menahan harunya. Ia memeluk ibunya dengan erat.
Ibunya, ibu mereka, ibu paling luar biasa di seluruh dunia.

Kasih ibu, kepada beta tak terhingga sepanjang masa.
Hanya memberi, tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia..

 --Oriza Utami. Di malam yang masih terlalu malam dan di pagi yang masih terlalu pagi.



Cappuccino


Suatu sore di lantai dua sebuah Kafe di Tembalang. Seperti biasa aku memesan secangkir cappuccino panas. Belakangan aku memang lebih suka cappuccino daripada kopi-kopi lainnya. Pahit enak, manis juga enak.

Tak lama kemudian, cappuccino pesananku datang berserta kotak berisi gula, biskuit, dan sebuah sendok serta sebuah filosofi hidup.

Hidup itu seperti Cappuccino. Kita butuh gula sebagai pemanis, butuh biskuit sebagai pelengkap, dan kita butuh sendok supaya semua komponen cappucinno bersatu padu dan bisa dinikmati.

Biskuit bisa diibaratkan sebagai cinta. Dan gula bisa diibaratkan sebagai sahabat. Sedangkan sendok diibaratkan sebagai sikap kita.

Biskuit bisa saja habis sebelum cappuccino yang kamu minum habis, dan bisa juga habis bersama dengan tetes terakhir cappuccinomu. Begitu juga cinta, kamu bisa bertahan dengan satu biskuit untuk menghabiskan cappuccinomu, tapi kamu bisa saja menghabiskan banyak biskuit untuk satu cangkir cappuccino.

Lain halnya dengan gula, dia bisa membuat cappucinno jadi manis. Dan dia larut, jadi dia tidak mungkin meninggalkan cappucinno sendirian setelah dia memberi rasa manis.

Tapi gula tidak akan bisa membuat cappuccino manis kalau tidak ada sendok. Gula ada didekat cappucinno tapi tidak bisa tercampur. Begitu pula dengan persahabatan, kalau sikap kita benar, sahabat pasti bersedia ada buat kita, kita harus menjaga sikap supaya sahabat kita tidak pernah ragu untuk menemani kita, sampai cappucino kita habis.

Waktu itu aku hanya diberi sebuah biskuit, tapi sayangnya biskuit itu habis jauh sebelum cappucinnoku habis.

Oleh: F. Yumna


Jumat, 17 Januari 2014

Putri Cahaya



Nama kota ini adalah Alen. Kota yang menjadi pusat kerajaan Rastava. Rastava merupakan kerajaan yang besar dan damai. Kerajaan yang dipimpin oleh Raja Herus ini merupakan kerajaan yang makmur dan menjadi pusat perdagangan dari semua kerajaan. Raja Herus adalah raja yang sangat di cintai rakyatnya, yang kemana pun Sang Raja berjalan, rakyat selalu mengagung-agungkan namanya. Raja Herus memiliki seorang Putri yang sangat canti jelita. Kecantikan putri ini sulit ditandingi, begitu cantiknya sehingga perlu diberi nama. Orang-orang Restava menyebutnya Putri Erza sang cahaya. Putri tersebut konon adalah jelmaan dari cahaya yang kecantikannya melebihi Dewa sekalipun.
Kabar kecantikan Putri sudah tersebar ke seluruh penjuru negeri. Pria dari berbagai kalangan, mulai dari bangsawan hingga rakyat biasa, semuanya ingin menikahi sang Putri. Mereka datang berturut-turut ke istana untuk meminangnya, namun terus menerus ditolak oleh sang Putri. Walaupun tahu usaha mereka sia-sia, para pria yang ingin menikahi Putri terus bertahan di sekeliling istana. Satu per satu dari mereka akhirnya menyerah, dan tinggal 5 orang pria yang tersisa, yang semuanya adalah pangeran dan pejabat tinggi.
Mereka tetap bersikeras ingin menikahi sang Putri, sehingga sang Raja membujuk Putri, "Perempuan itu menikah dengan laki-laki. Tolong pilihlah dari mereka yang ada," berkatalah sang Putri, "Aku hanya mau menikah dengan pria yang aku cintai saja, dan sampaikan ini kepada mereka yang menunggu di luar,". Akhirnya tak ada satupun dari kelima lelaki tersebut yang bisa membuat hati sang Putri jatuh cinta padanya.
Suatu ketika sang Putri berjalan sendirian, mencari bunga-bunga di sebuah padang bunga di pinggir hutan. Sang Putri pun terkejut karena ia tidak menemukan  satupun bunga. Di tempat itu sang putri berfikir mungkin segerombolan hewan buas lah yang telah merusaknya.
Lambat laun pun sang Putri berjalan masuk ke dalam hutan. Ia harus menemukan beberapa bunga untuk dia hadiahkan kepada sang ibunda.  Putri terus berjalan menelusuri belantara. Hari semakin senja, Matahari mulai tak ada dan Putri masih saja tak menemukan apa-apa. Ia terus berjalan dengan keranjang kosong. Matanya sudah lelah mencari. Ia tak sanggup lagi. Tubuhnya sudah cukup lemah, hatinya makin lama-makin gelisah, melewati waktu berganti. Ia masih belum menemukan juga sepucuk bunga pun. Ia berjalan tak tentu arah, ia bahkan tak sadar apakah ia berbelok ke kiri ke kanan atau hanya berputar saja. Semuanya serba tak jelas.
Waktupun lambat laun terus berjalan. Perut sang Putri pun semakin lapar. Hanya ada buah-buahan liar yang tumbuh di sela-sela semak belukar kadang menjadi penyelamat hidupnya. Buah yang manis itu membuat Putri bertahan dari rasa lapar sehingga sang Putri tak lagi menghitung sudah berapa banyak buah yang ia habiskan untuk menelusuri hutan ini.
Sampai satu ketika sang putri menemukan buah langka berbunga abu-abu. Putri menciumnya tak ada bau.Putri memakanya tak ada rasa. Dalam sekejab mata sang putri merasakan dunianya kelabu, langit sudah mulai buram, dan langkahnya tertatah-tatah seperti tak tahu kemana harus menuju. Putri tak lagi punya keinginan mendapatkan bunga. Yang ia inginkan sekarang hanyalah pulang kekerajaan dimana semua orang mengkhawatirkannya.
Mendengar kabar bahwa sang Putri tidak juga kembali dari perjalanannya, Raja sangat kecewa dan bersedih. Dipanggillah para kesatria di kerajaan untuk mencari tuan Putri. Beberapa kesatria telah datang ke kerajaan, tetapi mereka menyatakan tidak dapat menemukan tuan putri dimana pun. “Mohon ampun Baginda. Kami tidak dapat menemukan sang Putri dimana pun. Kami pun tidak sanggup lagi mencarinya lebih dalam lagi ke dalam hutan kerena menurut legenda disana terdapat hewan buas yang ganas sekali,”
Kemudian sang Raja memutuskan mengadakan sayembara, mengundang seluruh kesatria dari semua kerajaan. Tidak lama kemudian datanglah ke istana seseorang lelaki berbadan tegap dan berbaju lusuh, mengaku sebagai kesatria dari Negeri yang jauh sekali. Melihat penampilannya yang tidak meyakinkan, para prajurit menertawakan dia dan mengusirnya. Mendengar keributan, sang Raja memerintahkan untuk menghadap. “Ampun Baginda. Mendengar kesedihan Baginda karena sang putri kesayangan Baginda hilang pergi entah kemana, perkenankanlah hamba untukmencoba mencarinya dengan seluruh kekuatan hamba,”
“Baiklah, niat baikmu aku kabulkan,” kata Baginda sambil memberikan mandat tersebut. Setelah mendengar cerita dari para pelayan tuan putri dengan seksama, sambil menghela napas, si lelaki berkata,“Saya akan mencoba memasuki hutan terlarang tersebut, tetapi bila diperkenankan, saya akan mencoba sekuat tenaga saya untuk mencari tuan Putri.”
Walaupun sang raja meragukan, tetapi karena ia telah putus asa karena tidak ada satu kesatria pun yang bisa masuk ke hutan tersebut dan menemukan tuan Putri, Raja akhirnya setuju. Maka, lelaki itu pun mulai memasuki hutan dengan ditemani oleh seekor kuda yang menjadi tunggangannya.
Smentara itu, setelah berminggu-minggu. Sang Putri tidak bisa menemukan jalan kembali pulang ke kerajaan. Ia pun duduk terpaku menatap semesta yang kelabu.
Beberapa waktu berselang seorang lelaki yang  berhari-hari mencari sang Putri, sang lelaki itu pun menemukan sang Putri yang sedang duduk membisu. Dia ternyata adalah seorang Pangeran dari negeri yang dihuni oleh para kaum binatang. Pangeran tersebut bernama Sakti, sang penguasa hutan rimba. Semua makhluk di seluruh hutan jagat raya tunduk atas kewibawaannya.
Namun sang pangeran serigala tak cukup bisa membuat sang Putri berbicara. Ia masih diam terpaku seribu bahasa. Sang Pangeran tak menyerah begitu saja, ia segera membawa sang putri kembali ke kerajaannya. Beberapa hari kemudian, sang Pangeran menghadap ke hadapan raja. Baginda sangat gembira melihat Putri kesayangannya telah kembali, “Terima kasih. Sang Putri adalah hartaku yang paling berharga, bahkan melebihi istanaku sekalipun, sungguh senangnya hatiku kau bisa menemukan sang Putri di hutan yang terlarang itu.”    
Sang Raja akhirnya menghadiahkan sang Putri untuk dinikahi oleh sang Pangeran walaupun sang Putri masih tetap diam seribu bahasa. Tetapi sang Pangeran tidak pantang menyerah karena ia sudah terlanjur jatuh hati pada sang Putri. Dengan sabar dan penuh cinta Pangeran mengajari Putri kata-demi kata agar bisa mendengar suaranya.
Hari demi hari sang Putri mulai berbicara. Sang Pangeran pun sangat bahagia melihat sang Putri sudah mulai mau berbicara kepadanya. Mereka saling jatuh cinta. Menikmati keindahan di istana kerajaan Restava. Hingga pada satu masa waktu memisahkan mereka. 
Kerajaan mendapat ancaman serangan dari para kapitalita kerajaan seberang yang iri dengan kemakmuran kerajaan Restava. Mereka ingin menguasai kerajaan yang indah ini. Lalu akan membumihanguskan sisa-sisa pemukiman yang telah hancur dan mengganti pemandangan desa yang makmur dengan suasana gemerlap kota dengan lampu-lampunya.
Sebagai seorang Pangeran kerajaan, sang Pangeran  tidak bisa membiarkan hal itu terjadi begitu saja. Dengan berat hati sang Pangeran terpaksa meninggalkan sang Putri sendirian di dalam ruang bawah istana. Ia harus pergi bersama para tentara kerajaan untuk menyelamatkan kerajaan yang ia cintai ini.
Sebelum pergi Pangeran memberikan ramuan cinta kepada Putri. Pangeran meminta Putri untuk meminum ramuan itu agar cinta mereka terjaga hingga akhir masa. Ramuan cinta itu membuat Putri tertidur panjang dengan mimpi indah. Dan hanya ciuman dari sang Pangeran yang mampu membangunkan Putri dari tidur panjangnya. Lalu pergilah Pangeran ke luar istana untuk berjuang menyelamatkan rakyat dan kerajaannya.
Setelah kepergian Pangeran, sang Putri pun mulai bermimpi. Ia bermimpi tentang ribuan puisi yang dilukiskan di dinding-dinding hati. Tentang matahari yang disaat terbit selalu dinantikan pagi dan tenggelam bersama dekapan senja.Tak ada satu malam pun tanpa ditemani bintang-bintang dan bulan. Setiap kali bintang jatuh setiap kali permohonan pasti dikabulkan Tuhan
Hari-hari berganti, pagi siang senja hingga rembulan malam silih berganti dengan cepat dengan mentari pagi. Tak terhitung lagi berapa tahun hingga sang Putri tiba-tiba terbangun sendirinya dari tidur panjangnya.
Putri tak lagi menemukan suasana kerajaannya seperti dulu. Istana tempat ia tidur pun ternyata sudah berganti dengan museum yang di desain menyerupai istana. Ia juga sudah tak lagi mengenakan pakaian yang di desain dari kulit domba.
Alangkah terkejutnya sang Putri mengapa begitu banyak orang-orang disekitarnya. Mereka saling tak peduli. Putri terus melangkah menelusuri tempat yang sangat asing baginya. Ia mencari-cari sang pangeran. Hanya itu tujuan satu-satunya. Ia tak punya siapa-siapa lagi selain pangeran. Tempat ini sungguh asing baginya.
Putri mengunjungi setiap tempat hingga sudut-sudut kota yang hampir tak bernyawa, bertanya pada siapa saja. Sayangnya Putri tak menemukan pangerannya.Bahkan tidak juga tanda.Putri pun mulai putus asa.
Dengan berlinang air mata putri berdoa pada Dewa, memohon untuk dipertemukan dengan pangerannya. Dewa yang baik hati mendengar doaPutri. Dengan satu permintaan yang tak disebutkan dewa bersedia mengembalikan kehadiran pangeran serigala yang telah menghilang sekian lama dengan satu syarat sang Putri harus melepaskan sesuatu yang paling berharga bagi dirinya..
Di sudut bangunan tua ketika putri masih berurai air mata. Dewa mengirimkan sang Pangeran kehadapannya. Dengan senyuman mempesona masih sama saat pertama kali Putri bertemu dengannya. Pangeran datang membawa seikat bunga, masih dengan pandangan penuh cinta bersinar dari matanya.
Putri memeluknya dan tak lagi punya pertanyaan pangeran kemana saja, kenapa tak kembali menjemputnya.Pangeran balas memeluknya. Disaat yang bersamaan ketika jiwa mereka menyatu Putri kehilangan sesuatu yang selama ini sangat kuat ada pada dirinya. Putri tiba-tiba tak punya rasa, Putri kehilangan cinta.
Putri melepaskan dirinya dari dekapan pangeran , menatap angkasa, berteriak pada dewa.  "Wahai Dewa, Kau mengembalikannya padaku, tapi mengapa Kau mengambil rasa?, kau merampas cinta dari hidupku!!!,"
Dewa tersenyum lalu berkata, “aku tak pernah mengambil apapun yang tak pernah kumiliki, aku ditakdirkan untuk selalu hanya bisa memberi. Rasa itu milikmu, cinta itu sepenuhnya kedaulatanmu, tak ada seorangpun yang bisa menghilangkannya selain dirimu”
Putri terdiam, ia kembali kehilangan kata-kata. Kali ini ia lebih tak berdaya dari pada masa dimana ia tersesat di hutan belantara. Pangeran berusaha meraih tangannya, memeluknya dan mengajarkan kata demi kata sama seperti dahulu kala.
Mereka hidup bersama di tengah kota. Pangeran terus mencintai Putri meskipun Putri tak punya rasa. Perlahan-lahan Putri mampu berbicara, ia dengan cepat menghapalkan kata demi kata. Kecuali satu hal, Putri tak pernah mampu mengatakan cinta dengan segenap definisinya. Saat Pangeran tak ada Putri merasakan cinta itu ada, namun sekarang saat mereka bersama dan Putri tak merasakan cinta.



Oleh : Aji Tidar