Sabtu, 09 Agustus 2014

[new message] wanita itu

kau bilang butuh waktu
padahal aku cuma butuh kamu
meski begitu biarlah semua berlalu
sampai suatu ketika kita bertemu

bertemu.. yah bertemu
dalam mimpi yang kian semu
ketika kamu menjadi tamu
atau kamu yang menjamu

tapi aku mau
mau melihat kamu
mau menatap kamu
mau memeluk mu

ditengah malam aku terbayang
sosokmu yang lama dirindukan
kenapa aku menyuruhmu pergi kala itu
mengejar dunia menuntut ilmu
padahal aku butuh kamu

di usiaku kini semua mudah memudar
belum lagi jika terkena alzheimer
tapi aku tak mau menghindar
karena dengan mu hatiku tetap bundar


dari ibu. 

Kamis, 17 Juli 2014

Prematur Nostalgia

Dalam malam yang terang
Kita berbaring terlentang, beriringan
Dan aku mendengarkan berbagai lagu
Dan kamu memperdengarkan berbagai lagu

Tahun tujuh puluh, tahun dua ribu, tahun sembilan puluh
Jauh-jauh kala sebelum aku lahir. Sebelum kita bertemu

Dan aku mendengarkan berbagai lagu
Dan kamu memperdengarkan berbagai lagu
Berulang-ulang. Bermalam-malam. Berhari-hari
Sampai bulan berubah bentuk menjadi persegi tanpa geligi
Sampai dapat terdengar tanpa harus diberi dengar

Sampai aku menangis
Diingatkan kepada sesuatu yang hilang
Diingatkan kepada kenangan-kenangan
Sampai aku menangis


Karena tidak ada cetakan bulan untuk membuatnya menjadi persegi

oleh : Yudrika Azka 

Sabtu, 14 Juni 2014

The Old Books Smell

The Old Books Smell.
Tak ada yang lebih menakjubkan dari kisah-kisah luhur Patih Gajahmada yang berusaha menyatukan Nusantara melalui Sumpah Palapanya, atau kisah-kisah heroik Rama yang berusaha melindungi Sinta atau justru romansa perjuangan Rahwana untuk mendapatkan Sinta dengan cara yang tak biasa ? Ia telah menunggu selama lima millenium. Sebelum jiwa Sinta ada dalam raganya. Saat Sinta masih berupa Dewi Sri atau bahkan jauh sebelum itu. Dan Rahwana setia menunggunya.

Tak ada yang lebih mendebarkan dibanding kisah-kisah perang suku Tartar yang berhasil mengalahkan imperium Roma atau perang Khandaq, membuat parit raksasa untuk perlindungan diri. Atau kisah-kisah penuh romansa seperti Isolde, Juliet, Laila, Engtay yang terkungkung adat kolot sehingga membunuh cinta bahkan jiwanya sendiri adalah suatu keharusan ?

Tak ada yang lebih menyenangkan selain mendengar cerita rakyat dari berbagai belahan Nusantara dan dunia. Kisah-kisah yang ikhlas terucap dari sang empunya untuk menghibur bocah-bocah kecil lintas zaman, lintas benua. Kisah yang bahkan, mungkin kau tak akan pernah tahu siapa pengarangnya. Malin Kundang, Timun Mas, Cinderella, Calon Arang, Wang Whenzheng, kisah 1001 malam.

Dan tak ada yang lebih hebat daripada menakjubkan, mendebarkan sekaligus menyenangkan selain terdiam diantara tumpukan-tumpukan buku tua. Dengan aroma khasnya, membawa imajinasi ke awal jaman terbentuknya bumi atau ke ramalan akhir jaman sekalipun.

Kau pun beraroma sama, campuran vanili dan rerumputan. Aku penasaran, apa pernah kau sendiri membayangkan jika dirimu akan menjadi hal terhebat bagi seseorang? Menakjubkan, mendebarkan, sekaligus menyenangkan.

"Smell is chemistry, and the chemistry of old books gives your cherished tomes their scent. As a book ages, the chemical compounds used—the glue, the paper, the ink–begin to break down. And, as they do, they release volatile compounds—the source of the smell. A common smell of old books, says the International League for Antiquarian Booksellers, is a hint of vanilla: “Lignin, which is present in all wood-based paper, is closely related to vanillin. As it breaks down, the lignin grants old books that faint vanilla scent.”A study in 2009 looked into the smell of old books, finding that the complex scent was a mix of “hundreds of so-called volatile organic compounds (VOCs) released into the air from the paper,” says the Telegraph. Here’s how Matija Strlic, the lead scientist behind that study, described the smell of an old book:
A combination of grassy notes with a tang of acids and a hint of vanilla over an underlying mustiness, this unmistakable smell is as much a part of the book as its contents.

Read more: http://www.smithsonianmag.com/smart-news/that-old-book-smell-is-a-mix-of-grass-and-vanilla-710038/#lD6fS7oYKV4WzVVC.99



Oleh : Oriza Utami

Harapan

Sepanjang pesisir, jika ku lalui, takkan memecah jejak, kala ombak kian menepi. Pun kita tak pernah tahu, suara apa yang dibisikkan nyiur melambai ke selatan, hingga ombak enggan bertolak. 
Seberapa kencang angin menerpa? Seberapa keras ombak mengikis karang? Atau semua keheningan seperti ini sesungguhnya menyimpan dendam dan balas? 
Aku tak pernah berpikir tuk berteriak lantang kepada samudera, aku tak pernah  mengintip sedalam apa laut mendasar. Karena aku takut tenggelam untuk sebuah pertanyaan.
Mentari bersinar tak mampu sampai ke dasar laut, mengapa air mata mengorek luka begitu tajam? 
Tuhan.. 
Bila mentari lebih cepat terbenam di sini, jangan Kau dayungkan angin darat lebih cepat, karena langkahku di sepanjang pesisir belum usai terhapus. 
Bila langit dengan cepat berubah gelap dan panorama senja akan berakhir, jangan Kau gelapkan langkahku untuk kembali pulang.

Semua derit langit-langit bumi terdengar seperti gemuruh, dengkuran raksasa tua berselimut di antara awan. Hanya kala kita ingin meraba asa dan memetik bintang, awan-awan menghilang dan raksasa tua mengirim bidadari membentuk pelangi, melukis lukisan terindah yang pernah bumi lukiskan, melukis warna dari seluruh asa di tanah. Inilah harapan yang menjadi nyata setelah gemuruhnya.



oleh: Ninda Dian

Jumat, 06 Juni 2014

Malam Itu

14019137412037522792
Ilustrasi/ Kompasiana (Kompas.com)

malam itu
beberapa jenazah datang
dari kubur masalalu
seorang buruh puisi yang hilang di ladangnya sendiri
dan pemudi-pemuda yang dimuat diberbagai surat kabar
hilang belasan tahun silam
mendatangi segerombolan mahasiswa yang menenteng kardus
berlabel universitas ternama, mengemis di sepanjang jalan
menyanyikan lagu picisan, meneriakkan kata murahan
mereka saling berebut rupiah dengan waria, pengemis tua, gelandangan,
dan kaum papa
“selamat malam, mohon sedekahnya” kata mereka
malam itu
beberapa jenazah datang
maksud hati tak ingin kembali
tapi,
oh malangnya sungguh malang negeri ini
membuatnya ingin hidup kembali

image
Mahasiswa masa kini
image
mahasiswa masa lalu
Semarang, 3 Juni 2014


oleh:  Lenny Widyawati


Kamis, 03 April 2014

BUSUNG LAPAR




lihatlah, Tuan
perutku bagai gunung mengandung magma
buncitnya sampai merambah angkasa
Tubuhku tinggal tulang pilu dan segenggam daging busuk yang direjam
syahdan rasanya

tidakkah kau dengar, Tuan
kaleng-kaleng beras nyaring bunyinya
dan tangis bayi yang kau dengar sebagai kicauan
burung sikatan diakhir petang
mengencingi tenggorokannya sendiri

Intiplah Tuan,
saat musim hujan datang
Tubuhnya gigil, dengan sehelai rombeng membungkus kulit
pada wajahnya ada sepetak kulit yang di kapling
ditumbuhi berbagai jenis kerak, dan lelumutan
 raut wajahnya redup, habis di telan purnama tempo malam

Tuan, aku terdampar lunglai di bibir kemarau
Bukan karena haus merongrong kerongkongan
Atau cericit burung prenjak yang memanggil-manggil derita
Bukan pula karena matamu yang tersumpal bebatuan
Dan telingamu yang terganjal emas intan
Namun, ruh yang masih ingin hidup ini memangsa raganya sendiri.

L. Widy
Pati 3 Februari 2014

Jumat, 28 Maret 2014

Bias Dalam Gelap

Empat untaian kata
Yang jarang terucap
Empat dimensi ruang
Yang jarang terlihat
Entah dalam bisu ataupun kisruh
Terucap dalam bias
Terukir dalam gelap
Sempat tak sempat
Aku tetap melihat
Empat kata
Aku Cinta Papah Mamah :*


Kamis, 06 Februari 2014

12 Juli 1960

12 Juli 1960, di sebuah kamar mayat, di rumah sakit Jerman.


Hari itu, seseorang sedang berjuang melawan mautnya sendiri, menepis segala kemungkinan buruk, menguatkan niat, menuliskan tekad. Sumpahnya, ia tulis dalam sebuah note yang masih ia simpan sampai sekarang.


SUMPAHKU
Terlentang ! Jatuh! Perih! Kesal!
Ibu Pertiwi engkau pegangan
Dalam perjalanan
Janji pusaka dan sakti
Tanah tumpah darahku 
Makmur dan suci
....

Hancur badan!
Tetap berjalan!
Membawa aku PADAMU!

Dialah kebanggaan yang terlambat disadari. Kebanggaan yang pernah disiakan. Kebanggaan yang pernah terlewatkan akibat pertarungan rezim yang sengit. Jiwa nasionalisme sejati yang pernah diragukan bangsanya sendiri. Rasa cinta tanah air sejati dan murni yang pernah dikhianati tangan-tangan rakus pencari kuasa.

Dialah seorang patriot bangsa, menolak jadi salah satu pemimpin industri pesawat terbang raksasa, Boeing, demi menerbangkan sang Gatotkaca ke udara Indonesia.

Dia jenius yang sempat terlupa, ilmuwan luar biasa yang diakui di dunia tapi tak terlena gemerlap dunia.

Dialah pahlawan dalam diam. Tak banyak meminta tapi terus berusaha.
Berusaha memperbaiki bangsa luar biasa.

 Bangsa luar biasa yang saat itu sedang keos, yang sedang menunggu-nunggu referendum tim-tim, mengharap cemas rupiah tak turun lagi. PHK dimana-mana, orang tua pontang-panting mencari susu untuk anaknya, penjarahan, demo anarkis, penembakan mahasiswa, pembunuhan, tulisan pro-reformasi dimana-mana.

Dialah yang mengakhiri 517 harinya untuk bangsa, dengan menjadi imam sholat untuk keluarga. Setelah akhirnya, pidato pertanggungjawabannya ditolak mentah-mentah, setelah akhirnya ia dianggap tak becus dalam memerintah.

Dialah seseorang yang masih mencintai bangsa ini dengan segenap nurani, walau pernah dikhianati tak berperi.

Dialah...

Ah tak usah kusebut pun kau pasti tahu sendiri.

-Oriza WU, di pagi hari yang belum benar-benar pagi.

Sabtu, 18 Januari 2014

Ibu dan Hujan

Aku menyalin seragamku; seragam putih, rok merah. Lantas duduk di depan tv, mencari-cari film kartun yang aku sukai.

Umurku 9 tahun, aku sudah cukup bosan dengan ritual ini. Namun ada satu hal yang tak pernah membuatku bosan.. menyaksikan hujan! Air-air itu turun dari langit sembari menari dan menyanyi. Aku selalu tertarik bermain dengannya.. hanya saja aku takut meminta izin pada Ibuku, khawatir tidak diizinkan. Ibu banyak bercerita kalau-kalau di tv muncul berita; banjir, itu disebabkan hujan.

Aku tidak mengerti apa yang Ibu ceritakan, masih jelas menurutku bahwa hujan memang menyenangkan.

Baru sepuluh menit aku menonton film kartun favoritku, hujan turun. Entah kini apa yang membuatku merasa begitu bosan dengan film favoritku itu, aku merasa di luar sana lebih menarik; hujan. Lalu aku memohon pada Ibu untuk bermain keluar, tak ingin melewatkan momen hujan-hujanan – yang lebih dulu dinikmati teman-temanku yang lainnya.

“jangan nak, dingin, nanti kamu sakit.”

Ya, aku sebenarnya sudah tau, pasti tidak boleh.

Di hari-hari selanjutnya di musim hujan, aku menunggu-nunggu waktu saat Ibu pergi ketika hujan tiba. Dan hari itu datang! Ibu sedang pergi arisan di tempat temannya, aku sendirian di rumah, dan hujan turun. “ini saatnya..” lantas aku berganti pakaian dengan yang paling nyaman. Keluar rumah berlari dengan gaya heroik, menyambut hujan dan segera bergabung berlarian dengan teman-temanku.

Ini lebih dari bayanganku! Hujan ini…. Hmm.. begitu menyenangkan! Aku menikmati setiap tetes hujan yang jatuh ke tubuh. Mendangak ke langit, merentangkan tangan.. “Hai hujan, aku akhirnya datang menyambutmu langsung”

Hujan berhenti, aku kembali ke rumah. Sedih nian tinggalkan perjumpaan pertama kali ku dengan hujan. Lalu aku tertidur di depan televisi sebelum berganti baju.

Ibu pulang, masuk ke ruang tengah, lantas membangunkanku. “nak, kamu kok badannya hangat? Kecapek-an ya habis sekolah?”

Aku bangun setengah sadar, menyambut hangat tangan ibuku sambil tersenyum.. “aku habis main hujan bu, menari di bawah hujan, bermain perahu-perahuan. Sangat mengasyikan.”

Lalu ibu memarahiku dengan wajah yang sedikit panik, sambil mengambil handuk kecil dan air hangat; untuk mengompres.

Aku hanya bisa tertidur lagi sambil tersenyum, karena marahnya ibu digantikan oleh belaian lembutnya di kepalaku. “Aku suka hujan, bu. Aku juga sayang ibu..”
--------------------------------------------------------------------------------------------------

Semenjak dulu kecil Ibu pernah melarangku hujan-hujanan, saat ini aku justru lebih sering hujan-hujanan. Bagiku Ibu masih salah, hujan ini kian romantis bagiku.

Hari ini hujan lagi. Aku pulang dengan segala kelelahan habis kuliah. Basah sekujur tubuh, namun otak menghangat karena banyak sekali deadline yang harus segera tuntas. Lelah. Aku rebahkan badanku di kasur yang sudah lama kurindukan.

Badanku hangat, pilek, batuk. Aku meringkuk kedinginan. Aku merasakan begitu marah dengan diriku. Baru kali ini aku menyesal hujan-hujanan. Bagaimana tidak, sakit saat banyak sekali deadline itu hal yang tidak menyenangkan.

Tiba-tiba aku rindu belaian Ibu, “Mungkin Ibu ada benarnya.. aku harusnya jangan main hujan-hujanan.”

Semenjak sakit ini, aku kemudian memperbaiki segala persepsiku tentang Ibu yang banyak melarangku dulu waktu kecil. Kini aku tau, segala larangan Ibu itu karena Ibu sayang..

Tapi lantas aku tidak membenci hujan, ia tetap sebuah drama terindah yang turun dari langit; dengan tari dan nyanyiannya.

Terlebih saat aku tau bahwa hujan adalah saat dimana doa kita banyak bisa didengar dan dikabulkan Tuhan. Aku makin takjub dengan hujan ini.

Masih dalam keadaan meringkuk kedinginan, aku lirih berdialog pada Tuhan.. “Aku rindu Ibu. Tolong sampaikan maafku karna aku hujan-hujanan dan aku sakit saat ini. Jaga Ibu ya Rabbi..”

Semoga doa ini mengalir hingga kerumahku disana bersama hujan J


Oleh : Farhania A.S.





Buku ke 101 untuk sketsa ke 30



Biarlah kau tak mengenaliku, tak pernah kau tahu wajahku, tak pernah kau dengar suaraku. Aku hanya ingin senyummu kembali. Seperti dulu.
Aku terpekur memandangi jemarimu yang lembut membelai berlembar-lembar kertas yang berisi tonjolan-tonjolan kecil yang selalu kau sebut “Penyelamat” duniamu dari kegelapan.  Hari ini akhirnya kau telah menyelesaikan novel yang berbulan-bulan lalu ingin segera kau selesaikan. Senyummu mengembang saat kau tahu tokoh utama dalam novel itu akhirnya menemukan keluarganya yang terpisah selama bertahun-tahun.
Perkenalkan, namaku Alya. 
Kemudian dengan semangat kau menceritakan lagi dari awal cerita yang baru saja kau baca. Seperti biasa, Aku hanya fokus mendengarkan. Tak ada detil yang terlewat sedikitpun. Kau bercerita bagaimana anak kecil yang bernama Anne William berjuang hidup di kota, sendirian, demi bertemu Ayahnya yang meninggalkannya saat ia kecil. Kau bercerita tentang bagaimana Anne William bertemu dengan Bibi Olga yang baik hati. Sampai pada akhirnya, kau bercerita tentang bagaimana ketegaran Anne  menemukan Ayahnya yang ternyata telah meninggal dunia karena terkena peluru prajurit Inggris yang tengah menjadi pemberontak.
Aku suka memandanginya saat ia serius “membaca” dengan jemarinya. Ia terlihat begitu bahagia. Aku senang melihatnya bahagia.
Seperti biasa, selesai kau bercerita, aku kau suruh untuk menuliskan judul dan kesanmu mengenai cerita itu di sebuah buku kumal yang kau namai buku Jurnal. Kau selalu berkata, “Kelak ibu akan membacanya dan tersenyum bangga karena putrinya telah membaca banyak buku!,” . Seperti biasa, aku pun hanya tersenyum mendengar kalimat yang sudah kuhafal itu, sebelum beberapa detik kemudian aku mulai menggoreskan penaku, menjadikan perkataanmu tertera diatas buku Jurnal milikmu.
Ups, aku yakin kau akan melonjak kegirangan jika kukatakan hal itu padamu, dan aku yakin kau akan menggodaku berulang kali jika kau tahu hal itu. Tak perlulah kau tahu, toh menuliskan jurnalmu saja aku sudah bahagia.
Hari ini, tepat 100 buku yang telah tamat kau baca. Dari kesemua buku yang telah kau baca, aku dapat menyimpulkan, buku-buku favoritmu adalah buku-buku yang berlatar belakang jaman eropa klasik. Kau bilang kau suka membayangkan putri-putri Eropa mengenakan topi yang berhiaskan bunga-bunga besar, bergaun indah, didampingi oleh seorang pangeran tampan, seperti yang pernah kau lihat dalam film Cinderella beberapa tahun yang lalu. Hari ini pula buku jurnalmu yang pertama hampir habis. Hanya tinggal beberapa lembar lagi.
Coba saja kalau kau tahu apa saja kata-kata yang aku selipkan diantara kata-kata yang ingin kau tuliskan. Aku ingin tahu bagaimana ekspresimu.
“Jika masih ada lembar tersisa, aku ingin kau menuliskan ini untukku. Terima kasih telah menjadi sahabat terbaikku, Alya. Aku sungguh sangat menyayangimu. Semoga kita dapat bersahabat seperti pena dan kertas. Saling melengkapi satu sama lain,”
Air mataku hampir saja menetes mendengar kau mengucapkan kalimat itu, aku tak menyangka kau akan berkata bahwa kau begitu menyayangiku. Selesai menuliskan kata-katamu, kembali aku selipkan kata-kataku di belakang kata-katamu.
Mungkin sebentar lagi kau akan tahu.
***
Perkenalkan namaku Alika. 

Hari ini tepat buku ke 100 yang aku baca. Kau ingin tahu bagaimana rasanya? Bahagia. Ya tentu saja aku bahagia. Ke seratus buku ini, bukan merupakan buku-buku biasa yang dapat dibaca oleh orang biasa. Buku-buku dengan huruf Braille. Ya, sejak dua tahun lalu aku kehilangan penglihatanku karena sebuah kecelakaan. Aku mengalami kecelakaan bersama Ayah, Ibu dan kedua adikku. Beruntung Ayah dan kedua adikku selamat. Hanya saja, ibu masih terbaring koma dirumah sakit, katanya tak tahu sampai kapan. Ah, tapi aku yakin ibu akan membuka matanya lagi suatu hari nanti.

Aku tahu setiap kali kau menungguku membaca buku, kau melukiskan sesuatu disebelahku. Suara goresan pena pada kanvas itu sangat khas. Tentu saja aku mengenalinya.

Aku suka setiap kali membaca kau duduk disampingku, menggoreskan penamu pada kanvas. Apa yang sedang kau lukis, Alya? Ingin rasanya aku bertanya seperti itu. Tapi kuurungkan, mungkin suatu saat nanti kau akan memberitahuku dengan sendirinya. Jika saja kau tahu, aku merasa beruntung memiliki sahabat sepertimu. Rela mendengar ocehanku tentang buku-buku yang baru saja kubaca. Rela menuliskan apa saja yang ingin aku tuliskan. Rela mencarikan buku-buku berhuruf Braille untukku, yang aku yakin pasti sangat sulit menemukan buku-buku seperti itu.

Kutebak kau telah melukiskan 30 gambar, entah gambar apa itu. Karena aku selalu menghitung, berapa kali suara robekan kanvas yang selesai kau lukis untuk kau ganti dengan kanvas baru. Kalau saja kau ijinkan aku untuk menyentuh lukisanmu, mungkin aku bisa mambayangkan apa yang kau lukis.
 
Buku ke 100 ini menceritakan tentang seorang anak yang berjuang untuk bertemu dengan Ayahnya yang meninggalkannya saat ia masih kecil. Kadang aku kesal sendiri dengan cerita seperti itu. Kenapa ada saja orang tua yang meninggalkan anaknya? Seperti biasa aku mengomel ketika jalur cerita tidak sesuai dengan keinginanku, aku mengomel padamu, yang aku yakin ekpresi wajahku pasti sangat aneh, bukan ? Tapi aku terharu akan ketegaran Anne Williams yang akhirnya menemukan Ayahnya, salah, maksudku menemukan informasi tentang Ayahnya yang telah meninggal dan akhirnya setelah 10 tahun mencari ia bertemu dengan Ayahnya, walaupun sebatas diatas pusara.

Terima kasih, Alya. Kau lah yang membuatku bersemangat setelah aku terpuruk karena kecelakaan yang merenggut penglihatanku. Kau juga yang mengajariku berlatih membaca huruf-huruf Braille. Aku penasaran, darimana kau bisa tahu banyak tentang huruf Braille, Alya?

Hari ini pula buku jurnalku yang pertama habis. Kau mengetuk tiga kali meja didepanku, tandanya buku itu hanya bersisa tiga lembar. Aku tahu kau bermaksud membelikan lagi buku jurnal untukku. Namun aku rasa tak perlu, setelah aku membaca buku, aku ingin mencoba sesuatu yang lain, bersamamu. Mungkin kau bisa mengajariku gitar, Alya? Beberapa kali ketika aku tak mendengar suara goresan penamu, aku mendengar dentingan suara gitar disebelahku. Yang perlu aku lakukan sekarang adalah memberi kata-kata penutup untuk buku jurnalku.

Dan Aku merasa lebih beruntung karena dulu aku aktif Pramuka, sehingga aku mudah memahami kode-kode morse yang kau berikan melalui ketukan-ketukan itu. Mungkin orang lain mengira persahabatan kita aneh. Berbicara melalui bahasa-bahasa yang tak biasa. Ah, bagiku sih, itu tak masalah. 

Setelah aku menyuruhmu menuliskan kata-kata terakhirku untuk jurnal pertamaku, kau tiba-tiba menyerahkan sebuah buku ditanganku, dengan beberapa ketukan kecil, kau bilang itu hadiah untukku. Setelah kau menyerahkan buku itu, aku mendengar kau berdiri dari tempat dudukmu.

“Kau mau kemana?,” Tanyaku. Lalu kau menjawab dengan tepukan kecil di pundakku, tandanya kau ingin aku menunggumu sebentar. Aku mengerti. Kuanggukkan kepalaku pelan dan kemudian kudengar suara langkah kakimu menjauh.

Sementara kau pergi, aku meraba-raba buku yang baru saja kau berikan, saat aku mulai membaca kalimat pertama dari buku itu, aku langsung mengetahui bahwa itu bukanlah sebuah novel.

“Hai, Alika. Mungkin ini saatnya kau tahu apa saja yang kutulis dalam buku jurnalmu. Silakan membaca buku ke-101, Alika.”
Aku tersenyum terharu membaca kalimat pembuka dari buku tersebut. Bagaimana bisa kau mempunyai ide untuk mencetak buku jurnalku dengan huruf Braille? Dan lagi, dimana kau mendapat percetakan yang memiliki alat pencetak untuk huruf Braille?

Setelah hampir setengah jam, aku meraba-raba kalimat demi kalimat yang telah kau tulis sesuai dengan “kemampuanku”. Tak kusangka kau tak hanya menuliskan kesan-kesanku mengenai buku-buku yang kubaca. Beberapa—maksudku hampir dibawah setiap kalimat yang kuucapkan, kau tuliskan juga bagaimana ekspresi wajahku saat itu. Aku tertawa, membayangkan aku yang tiba-tiba mengomel karena teman-teman Harry Potter tak ada yang mempercayai bahwa Lord Voldemort telah bangkit lagi dan lagi aku membayangkan bagaimana dengan tiba-tiba aku mengguncang-guncangkan lenganmu dengan bersemangat ketika mengetahui Arai dan Ikal akhirnya bisa mencapai impian-impian masa kecilnya, mengelilingi Eropa, kuliah diluar negeri.

Kau harus tahu betapa kagetnya aku ketika kau tiba-tiba mengomel tentang Harry Potter dan Lord Valdemit—atau siapa lah itu aku tak tahu. Kau mengerutkan keningmu, lalu seperti biasa, mimik wajahmu berubah menjadi sangat lucu. Aku jadi tidak konsentrasi melanjutkan lukisanku karena kau. Dasar.”
“Kapan sih, kau bisa tenang kalau membaca buku? Hari ini saja kau tiba-tiba mengguncang-guncangkan lenganku ketika kau mengetahui tokoh utama dalam buku itu berhasil mencapai impiannya. Lukisanku jadi tercoret, kan. Kelak kalau kau membaca ini kau harus mempersiapkan ganti rugi untukku. Hahaha.”

Lembar demi lembar kubaca. Kadang aku tertawa, walaupun aku lebih sering merasa bersalah kepadamu kalau mengingat kehebohanku setiap aku membaca buku. Ngomong-ngomong aku jadi semakin penasaran, sebenarnya apa sih yang sedang kau lukis? Pokoknya setelah kau kembali nanti, aku harus menanyakan kepadamu apa yang kau lukis.

Dua jam berlalu dan aku belum juga mendengar suara langkahmu mendekat. Kau kemana, Alya? Aku hampir menyelesaikan jurnal Braille-ku. Setiap kali aku membuka lembar baru dan “membacanya” aku seperti menemukan kejutan-kejutan kecil dari tulisan-tulisanmu yang tertera disana. Tiba-tiba aku merasa kehebohanku akan keluar lagi. Alya, cepat kembali, buku ke 101 yang kau berikan ini kukira akan menjadi puncak kehebohanku dalam mengomentari sebuah buku.

Sampai akhirnya aku sampai pada lembar terakhir, di lembar terakhir jurnal Braille-ku, tulisanmu baru sampai pada saat aku mengomentari buku ke 99, yaitu kumpulan sajak milik Sapardi Djoko Damono yang tergabung dalam bukunya yang berjudul Hujan Bulan Juni. Sajak favoritku dalam buku itu adalah sajak yang berjudul ‘Yang Fana adalah Waktu’ dan setelah membaca jurnalku, aku baru tahu sajak yang paling kau suka dalam buku itu adalah sajak yang berjudul ‘Sementara Kita Saling Berbisik’. Aku sedikit lupa pada sajak itu, mungkin setelah ini aku akan membaca sajak itu lagi, mencoba merasakan sajak yang kau suka.

Derap langkah tergesa menghampiriku, kudengar langkahnya tak seperti langkahmu. Langkah yang kali ini mendekatiku sedikit lebih ringan daripada suara langkahmu. Kukira dia Ayodya, adikku.

“Kak, baru saja seseorang menitipkan ini untukmu,” Ucap Ayodya dengan sedikit terbata. Lalu ia menyerahkan gulungan-gulungan kertas kepadaku. Setelah menerimanya, aku segera “melihat” isi dari gulungan-gulungan kertas itu. Kurasakan gambar seseorang yang sedang duduk dan membaca buku, aku kembali meraba kertas itu, mencoba merasakan detil gambar tersebut. Akhirnya aku menyadari itu adalah gambar seorang gadis yang sedang serius membaca buku. Cepat-cepat kuhitung lembaran-lembaran kertas itu. Ada 30 lembar.

Alya..
“Kak Alya? Ini dari Kak Alya, kan? Dimana ia sekarang?,” Ucapku tergesa.
“Ia.. Sebenarnya Kak Alya telah pergi satu jam yang lalu, Kak,”
Pergi? Pergi kemana? Alya..
“Kak Alya menyuruhku untuk tak mengatakannya padamu sampai hari keberangkatannya. Ia menyuruhku untuk menyerahkan lukisan-lukisan itu dan… Surat ini,” Ucap Ayodya sembari menyerahkan sepucuk surat padaku.

“Hai Alika, maaf sebelumnya jika aku tak memberitahumu bahwa aku akan pergi. Ketika kau membaca surat ini, aku yakin kau juga sudah menyelesaikan jurnal Braille-mu. Bagaimana? Apakah kau senang dapat membaca jurnalmu? Maaf ya, Aku sering menambah kata-kata dalam jurnalmu. Kau tak marah, kan? Aku yakin tidak. Hehe. Alika, aku juga menitipkan lukisan-lukisanku pada Ayodya untukmu. Kau bisa melihatnya? Aku berusaha sebaik mungkin untuk menggambar ekspresi wajahmu. Ceria, marah, bersemangat, bersedih. Aku ingin kau menyadari bahwa kau cantik, Alika. Kau cantik. Jika saja aku dapat mengungkapkan dengan kata-kata dari mulutku, bukan hanya dari ketukan-ketukan morse di mejamu, aku pasti sudah menjadi orang tergombal yang pernah kau temui dan mungkin saja kau akan muak dengan gombalan-gombalanku. Jadi pada saat tertentu aku merasa bersyukur selama ini aku hanya dapat mengungkapkan melalui ketukan.
Alika, aku pergi untuk waktu yang cukup lama. Kau teruskan hidupmu ya, jangan pernah bersedih lagi, teruslah bersemangat dalam segala hal. Cobalah membuat sebuah karya luar biasa. Cobalah kau belajar musik. Mungkin kau bisa menjadi komposer atau pencipta lagu yang hebat. Atau kau masih ingin mencoba menjadi penyihir seperti Harry Potter? Mengayunkan tongkat sihirmu sambil merapal mantra “Alohomora”, mantra yang membuat semua kunci akan terbuka? Apapun itu aku akan menunggu karya pertamamu lahir.
Yang selalu ingin melihatmu tersenyum manis. Alya.”

Aku kembali melipat surat itu perlahan. Perasaanku menjadi tak karuan.  Tiba-tiba tubuhku terasa lemas. Tak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Aku kalut. Hampir saja kuremas surat yang kau berikan kepadaku. Ayodya menepuk pundakku, lalu ia memelukku. Tangisku tak tertahan lagi.
“Sebenarnya ada apa ini, Ayodya? Ceritakanlah kepadaku!,” Ucapku setengah membentak. Kudengar Ayodya justru ikut menangis dan ia semakin memeluk erat tubuhku.

Alya, kau kemana? Secepat itukah? Dua jam lalu kau masih disini, disebelahku, mengetuk meja, menepuk pundakku, menuliskan pesan terakhirku untuk buku jurnalku. Sekarang kau pergi?
***
Setahun berlalu, aku tak mendengar kabar dari Alya. Sampai sekarang aku belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku sempat sangat kacau karena Alya tiba-tiba pergi begitu saja. Aku mengenalnya, beberapa bulan setelah aku mengalami kecelakaan. Aku memang belum pernah melihatnya secara langsung. Tapi ia sangat baik. Ayodya mengatakan Alya sangat cantik. Walaupun begitu ia tak pernah mengijinkanku untuk menyentuh wajahnya. Suaranya pun aku tak pernah mendengarnya. Aku tahu, ia tuna wicara. Ayodya mengatakannya padaku dan ia juga menjelaskan betapa indah lukisan yang dibuat oleh Alya. Itulah alasan mengapa aku sangat senang mempunyai sahabat seperti Alya. Ia mirip ibu.
Ibuku juga sangat pandai melukis. Waktu aku kecil aku dan kedua adikku sering dilukisnya. Itulah alasan mengapa aku sangat hafal suara goresan pena. Terlebih setelah Tuhan mengambil penglihatanku, indra pendengaranku menjadi sangat peka. Mudah sekali mengenali suara-suara. Suara goresan pena, sobekan kertas, derap langkah..
Tunggu dulu. Alya.
 Nama lengkap ibuku Anita Rosalya Cahyadi. Alya, ibu, Alya, ibu, Alya, ibu..

Kenapa aku baru menyadarinya sekarang?! Bodoh.

Aku bergegas menemui Ayodya. Berteriak memanggil namanya agar ia tahu aku mencarinya. Tak lama kemudian Ayodya menghampiriku.
“Alya sebenarnya siapa?,” Tanyaku
“Kak Alika..,”
“Siapa ia?! Jawab aku! Benarkah Alya itu ibu?! Kenapa semua orang merahasiakannya kepadaku?,” teriakku padanya. Aku semakin kacau. Sejujurnya aku tak ingin mendengar jawaban dari Ayodya tentang Alya. Aku takut aku tak sanggup jika itu benar-benar ibu.
 Ayodya tak menjawab apapun. Ia justru terisak. Isakannya membuatku semakin yakin kalau dugaanku benar. Tubuhku lemas. Aku terjatuh. Tak ingat apa-apa lagi.

***
28 Juni 2000
“Ibu Anita berhasil melewati masa kritisnya, Pak,” Ucap Dokter yang menangani Ibu.

Mendengar hal itu Ayah dan kedua adik Alika merasa sangat lega. Tadinya mereka berniat untuk langsung memberitahu Alika tentang kepulihan ibunya. Namun saat itu kondisi Alika sedang sangat terpuruk. Ia tak mau keluar kamar, yang ia lakukan hanya memejamkan matanya. Ia terlalu takut untuk menerima kenyataan bahwa semuanya akan sama-sama gelap ketika ia membuka matanya. Akhirnya mereka menunda untuk memberitahu Alika.

 Sebulan berlalu, kondisi Ibu Alika semakin membaik. Hanya saja ia masih sering merasa pusing dan lemas. Kondisi Alika justru makin memburuk. Ia semakin menutup diri. Tak mau bergaul. Ibu mana yang tak terpukul melihat kondisi anak gadisnya seperti itu. Ia berharap ia segera sembuh dari sakitnya dan segera membangkitkan semangat Alika untuk terus hidup.

 Harapan memang sering tak sesuai dengan kenyataan. Setelah beberapa saat kondisi Ibu Alika membaik, ia justru divonis bahwa hidupnya hanya tinggal beberapa bulan lagi. Ternyata rasa pusing yang dideritanya berasal dari pembekuan darah di kepalanya akibat benturan saat kecelakaan. Pada awalnya pembekuan darah itu masih dapat diobati dengan meninum berbagai macam obat yang diberikan oleh dokter. Namun Tuhan berkata lain.

 “Ibu.. Ibu jangan pergi. Kak Alika. Aku, Ayah, Alisa bagaimana? Kak Alika bagaimana jika tak ada ibu?,” Ucap Ayodya sambil menahan tangisnya.

“Tenang saja Nak, ibu akan tetap bersama kalian. Kak Alika biar ibu saja yang mengurusnya. Kau jangan bilang tentang ibu kepadanya, ya,”
***
02 Agustus 2000
“Kak Alika, aku masuk ya, aku membawa seseorang untukmu,” Ucap Ayodya.

Ayodya dan ibunya melangkah masuk ke kamar Alika. Ia masih tertidur membelakangi mereka. Menyadari ada orang yang masuk kamarnya, Alika justru menghindar. Perlahan Ibunya mendekati Alika. Ia lalu mengelus kepala Alika. Air matanya mulai mengalir.

“Kak Alika, ini ib..,” belum selesai Ayodya menyelesaikannya, ibunya meletakkan jari telunjuknya di bibirnya, tandanya ia tak ingin Alika tahu ia ada disini. Ia lalu menggandeng Ayodya keluar kamar.

 “Ibu, kenapa ibu?,”

“Biarlah, Nak. Ibu tak ingin ia tahu kondisi ibu. Ibu tak ingin ia tahu aku hanya punya waktu yang sangat sebentar untuk menemaninya lagi. Biarlah ibu disisinya sebagai orang lain. Ibu akan berusaha sekuat tenaga mengembalikan semangatnya. Ibu akan membuat Kak Alika-mu kembali, sebelum ibu yang akhirnya harus pergi..,”

Ayodya tak kuasa menahan harunya. Ia memeluk ibunya dengan erat.
Ibunya, ibu mereka, ibu paling luar biasa di seluruh dunia.

Kasih ibu, kepada beta tak terhingga sepanjang masa.
Hanya memberi, tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia..

 --Oriza Utami. Di malam yang masih terlalu malam dan di pagi yang masih terlalu pagi.