Sepanjang
pesisir, jika ku lalui, takkan memecah jejak, kala ombak kian menepi. Pun kita
tak pernah tahu, suara apa yang dibisikkan nyiur melambai ke selatan, hingga
ombak enggan bertolak.
Seberapa kencang angin menerpa? Seberapa keras ombak mengikis karang? Atau semua keheningan seperti ini sesungguhnya menyimpan dendam dan balas?
Aku tak pernah berpikir tuk berteriak lantang kepada samudera, aku tak pernah mengintip sedalam apa laut mendasar. Karena aku takut tenggelam untuk sebuah pertanyaan.
Seberapa kencang angin menerpa? Seberapa keras ombak mengikis karang? Atau semua keheningan seperti ini sesungguhnya menyimpan dendam dan balas?
Aku tak pernah berpikir tuk berteriak lantang kepada samudera, aku tak pernah mengintip sedalam apa laut mendasar. Karena aku takut tenggelam untuk sebuah pertanyaan.
Mentari
bersinar tak mampu sampai ke dasar laut, mengapa air mata mengorek luka begitu
tajam?
Tuhan..
Bila mentari lebih cepat terbenam di sini, jangan Kau dayungkan angin darat lebih cepat, karena langkahku di sepanjang pesisir belum usai terhapus.
Bila langit dengan cepat berubah gelap dan panorama senja akan berakhir, jangan Kau gelapkan langkahku untuk kembali pulang.
Tuhan..
Bila mentari lebih cepat terbenam di sini, jangan Kau dayungkan angin darat lebih cepat, karena langkahku di sepanjang pesisir belum usai terhapus.
Bila langit dengan cepat berubah gelap dan panorama senja akan berakhir, jangan Kau gelapkan langkahku untuk kembali pulang.
Semua
derit langit-langit bumi terdengar seperti gemuruh, dengkuran raksasa tua
berselimut di antara awan. Hanya kala kita ingin meraba asa dan memetik
bintang, awan-awan menghilang dan raksasa tua mengirim bidadari membentuk
pelangi, melukis lukisan terindah yang pernah bumi lukiskan, melukis warna dari
seluruh asa di tanah. Inilah harapan yang menjadi nyata setelah gemuruhnya.
oleh: Ninda Dian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar