Sabtu, 14 Juni 2014

Harapan

Sepanjang pesisir, jika ku lalui, takkan memecah jejak, kala ombak kian menepi. Pun kita tak pernah tahu, suara apa yang dibisikkan nyiur melambai ke selatan, hingga ombak enggan bertolak. 
Seberapa kencang angin menerpa? Seberapa keras ombak mengikis karang? Atau semua keheningan seperti ini sesungguhnya menyimpan dendam dan balas? 
Aku tak pernah berpikir tuk berteriak lantang kepada samudera, aku tak pernah  mengintip sedalam apa laut mendasar. Karena aku takut tenggelam untuk sebuah pertanyaan.
Mentari bersinar tak mampu sampai ke dasar laut, mengapa air mata mengorek luka begitu tajam? 
Tuhan.. 
Bila mentari lebih cepat terbenam di sini, jangan Kau dayungkan angin darat lebih cepat, karena langkahku di sepanjang pesisir belum usai terhapus. 
Bila langit dengan cepat berubah gelap dan panorama senja akan berakhir, jangan Kau gelapkan langkahku untuk kembali pulang.

Semua derit langit-langit bumi terdengar seperti gemuruh, dengkuran raksasa tua berselimut di antara awan. Hanya kala kita ingin meraba asa dan memetik bintang, awan-awan menghilang dan raksasa tua mengirim bidadari membentuk pelangi, melukis lukisan terindah yang pernah bumi lukiskan, melukis warna dari seluruh asa di tanah. Inilah harapan yang menjadi nyata setelah gemuruhnya.



oleh: Ninda Dian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar