lihatlah, Tuan
perutku bagai gunung mengandung magma
buncitnya sampai merambah angkasa
Tubuhku tinggal tulang pilu dan
segenggam daging busuk yang direjam
syahdan rasanya
tidakkah kau dengar, Tuan
kaleng-kaleng beras nyaring bunyinya
dan tangis bayi yang kau dengar sebagai
kicauan
burung sikatan diakhir petang
mengencingi tenggorokannya sendiri
Intiplah Tuan,
saat musim hujan datang
Tubuhnya gigil, dengan sehelai rombeng
membungkus kulit
pada wajahnya ada sepetak kulit yang di
kapling
ditumbuhi berbagai jenis kerak, dan lelumutan
raut wajahnya redup, habis di telan purnama
tempo malam
Tuan, aku terdampar lunglai di bibir
kemarau
Bukan karena haus merongrong
kerongkongan
Atau cericit burung prenjak yang
memanggil-manggil derita
Bukan pula karena matamu yang tersumpal
bebatuan
Dan telingamu yang terganjal emas intan
Namun, ruh yang masih ingin hidup ini
memangsa raganya sendiri.
pict www.anneahira.com
L. Widy
Pati 3 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar