Kamis, 06 Februari 2014

12 Juli 1960

12 Juli 1960, di sebuah kamar mayat, di rumah sakit Jerman.


Hari itu, seseorang sedang berjuang melawan mautnya sendiri, menepis segala kemungkinan buruk, menguatkan niat, menuliskan tekad. Sumpahnya, ia tulis dalam sebuah note yang masih ia simpan sampai sekarang.


SUMPAHKU
Terlentang ! Jatuh! Perih! Kesal!
Ibu Pertiwi engkau pegangan
Dalam perjalanan
Janji pusaka dan sakti
Tanah tumpah darahku 
Makmur dan suci
....

Hancur badan!
Tetap berjalan!
Membawa aku PADAMU!

Dialah kebanggaan yang terlambat disadari. Kebanggaan yang pernah disiakan. Kebanggaan yang pernah terlewatkan akibat pertarungan rezim yang sengit. Jiwa nasionalisme sejati yang pernah diragukan bangsanya sendiri. Rasa cinta tanah air sejati dan murni yang pernah dikhianati tangan-tangan rakus pencari kuasa.

Dialah seorang patriot bangsa, menolak jadi salah satu pemimpin industri pesawat terbang raksasa, Boeing, demi menerbangkan sang Gatotkaca ke udara Indonesia.

Dia jenius yang sempat terlupa, ilmuwan luar biasa yang diakui di dunia tapi tak terlena gemerlap dunia.

Dialah pahlawan dalam diam. Tak banyak meminta tapi terus berusaha.
Berusaha memperbaiki bangsa luar biasa.

 Bangsa luar biasa yang saat itu sedang keos, yang sedang menunggu-nunggu referendum tim-tim, mengharap cemas rupiah tak turun lagi. PHK dimana-mana, orang tua pontang-panting mencari susu untuk anaknya, penjarahan, demo anarkis, penembakan mahasiswa, pembunuhan, tulisan pro-reformasi dimana-mana.

Dialah yang mengakhiri 517 harinya untuk bangsa, dengan menjadi imam sholat untuk keluarga. Setelah akhirnya, pidato pertanggungjawabannya ditolak mentah-mentah, setelah akhirnya ia dianggap tak becus dalam memerintah.

Dialah seseorang yang masih mencintai bangsa ini dengan segenap nurani, walau pernah dikhianati tak berperi.

Dialah...

Ah tak usah kusebut pun kau pasti tahu sendiri.

-Oriza WU, di pagi hari yang belum benar-benar pagi.